Hari Senin (3/11) pagi lalu, aku melihat sebuah berita di salah satu media online di Bandung. Judul beritanya: RSHS Kembali Terima Pasien Suspect Flu Burung. "Wah, jangan-jangan korban warga Garut?" pikirku saat itu, sambil membaca berita itu dengan seksama. Terbayang kalau pasien suspect itu warga Garut terus gagal diselamatkan, mau tidak mau aku harus meliput keluarga korban. Mending kalau deket, gimana kalau jauh? Beruntung, setelah berita itu dibaca sampai selesai, si pasien ternyata tinggal di Jalan Inhoftank Bandung. "Ada korban flu burung Ded!" seruku pada Dedi Radar Garut yang saat itu ada di sebelahku. Dedi menoleh. "Tapi di Bandung," candaku.
Aku lantas menutup internet dan mencari materi liputan hari itu. Kebetulan, Dedi mendapat kabar terjadi longsor di Kecamatan Cigedug, sekitar 35 Km dari Garutkota. Informasi beredar dengan cepat ke beberapa wartawan, termasuk wartawan televisi. Akhirnya, aku, Dedi, Kemal Tribun Jabar, Abah Janur Anteve, Boi TPI, Cecep PR, Slamet KBR 68 H, dan Kabag Humas Dikdik Hendrajaya, berangkat ke lokasi longsor. Ternyata longsor di Kecamatan Cigedug tidak terlalu menarik. Abah dan Boi bahkan urung mengambil peristiwa tersebut menjadi bahan liputan. Singkat cerita, setelah hampir dua jam berada di lokasi longsor, kami kembali ke ruang humas. Tentu saja sebelumnya kami terlebih dulu menyantap makan siang.
Meski materi liputan tidak terlalu menarik, aku, Kemal, dan Dedi, tetap akan memberitakannya. Pokoknya, yang namanya longsor, sekecil apa pun pasti menjadi berita buat media cetak. Kebetulan, warga 7 desa di Kecamatan Bungbulang saat itu dilanda keresahan menyusul kondisi tanah di sana yang retak-retak dan rawan longsor. Akhirnya, berita longsor di Cigedug, kami gabungkan dengan informasi warga Bungbulang yang mengungsi. Hari semakin sore, dan seluruh berita yang diliput belum sepenuhnya selesai. Tiba-tiba saja, Abah berteriak. "Pasien suspect flu burung di RSHS meninggal. Jenazah akan dibawa ke Garut karena dia warga Kampung Hujung, Desa Cipancar, Kecamatan Leles," ujar Abah. Celaka! Ternyata korban flu burung yang beritanya baru dibaca pagi hari adalah warga Garut. Aku menghela napas. Meski belum ada instruksi dari kantor, pemakaman korban flu burung harus tetap diliput. "Urang tadi isuk2 geus maca berita soal flu burung. Sugan teh lain warga Garut," kataku kepada Kemal sambil terus mengetik berita. "Nya, kudu berangkat mang," tandas Kemal.
Abah dan beberapa teman wartawan lainnya, Boi TPI, Indra Trans TV, Ary Radar Garut, Aep Priangan, Deni Indosiar, dan Tasdik Elshinta, sepakat menumpang mobil Kabag Humas Dikdik Hendrajaya untuk berangkat ke lokasi pemakaman korban karena saat itu hujan turun cukup deras. Indra mendadak jadi sopir tembak. Lantaran belum rampung menulis berita, aku dan Kemal berencana menyusul menaiki motor. "Ke urang nyusul naik motor!!" teriak Kemal sambil melirik ke arahku. Aku mengangguk. Sekitar pukul 18.30 WIB, aku dan Kemal berangkat ke Kecamatan Leles yang berjarak sekitar 15 Km dari Garut Kota dengan menaiki dua motor. Hujan rintik-rintik mengiringi perjalanan kami. Dingin menusuk paru-paru. Sepanjang jalan, perut juga mulai keroncongan karena dari siang, aku ternyata belum makan. Tiba di Kecamatan Leles, aku mengontak Tasdik Elshinta menanyakan lokasi pasti pemakaman. Ternyata lokasi pemakaman cukup jauh dari Jalan Raya Leles. Jalanan yang dilalui juga dalam kondisi rusak. Beberapa kali kami melewati jalan gelap karena di kiri kanan hanya ada pepohonan dan semak belukar. Setelah sempat bertanya ke sejumlah warga, kami tiba di Kampung Hujung, Desa Cipancar, yang merupakan rumah orang tua korban. Aku menghampiri sekelompok ibu-ibu di sebuah makam dan menanyakan rumah keluarga korban. "Wah, jauh sekali pak," jawab ibu tadi. "Di mana persisnya bu?" tanyaku lagi. "Pokona mah jauh, abdi oge keluargana," ibu itu sama sekali tidak mau menyebutkan lokasi rumah korban.
Kemal menelepon Tasdik, menanyakan keberadaan rombongan wartawan yang sudah lebih dulu datang. Ternyata, mereka sedang berada di rumah Lurah Cipancar. Kami menyusul ke rumah lurah, tidak jauh dari lokasi kami berada saat itu. Benar saja, teman-teman tampak berkumpul di depan rumah lurah. Mereka bersiap-siap menjemput jenazah yang sudah berada di kawasan Nagreg. Rombongan kemudian berangkat menaiki mobil ke lokasi awal kami tiba. Aku dan Kemal mengikuti mobil dari belakang. Tiba di lokasi Kampung Hujung, kami berjalan di gang kecil menuju Masjid Al Furqon yang akan dijadikan tempat disemayamkannya jenazah. Lantaran perut makin keroncongan, aku membeli bakso tahu yang dijual persis di depan masjid, disusul Ary dan Kemal. "Lumayan mal, keur ngaganjel beuteung!" kataku. Puas menyantap bakso tahu, kami bergabung dengan rombongan. Jenazah yang dimasukkan dalam peti mati kemudian tiba sekitar pukul 20.15 WIB dan disemayamkan di Masjid Al Furqon. Teman-teman wartawan TV sibuk mengambil gambar. Selesai mengambil gambar kedatangan jenazah, kami kembali duduk, menunggu jenazah dimakamkan sambil menikmati hembusan angin malam.
"Gin, neangan warung yuk, lapar euy," ajak Deni Indosiar. Aku mengiyakan ajakan Deni. Setelah bertanya di mana warung yang buka, kami berjalan menjauhi masjid. Gang yang kami lalui gelap dan warung yang ditunjukkan warga belum ditemukan. "Di mana Gin?" tanya Deni. "Teuing atuh," jawabku. Karena warung tak kunjung ditemukan sementara gang yang dilalui makin gelap, kami akhirnya urung meneruskan perjalanan dan kembali ke rombongan. Waktu terus merayap, dan hari semakin malam. Tiba-tiba, Indra mengajakku berjalan keluar gang. "Hayu mang, neangan warung. Pasti aya," ajak Indra. Daripada diam tak jelas, aku mengikuti langkah Indra. Ternyata Deni menyusul di belakang. Seorang warga menunjukkan sebuah warung yang sudah tutup. "Digedor aja," kata dia. Dibantu warga tadi, kami menggedor warung tersebut. Seorang ibu kemudian keluar dari warung.
Persoalan kami yang saat itu dilanda lapar yang sangat ternyata tidak selesai. Warung itu tidak menjual makanan apa pun. Kami pun hanya menyantap makanan ringan. Aku membeli segelas kopi. Dalam keadaan gelap, kami terpaksa menikmati keadaan. Jenazah belum juga dimakamkan, sementara malam semakin larut. Sekitar setengah jam berada di warung, Deni mengajak kami pergi. Katanya, teman-teman wartawan lain sedang membeli nasi goreng. Kabar itu tentu saja kami sambut dingin, karena biasanya, mereka hanya bercanda. Setelah membayar makanan dari warung, kami berangkat ke lokasi rombongan. Benar saja, tidak ada nasi goreng di sana. Mereka sedang berada di sebuah rumah, menikmati kopi dan sejumlah makanan ringan. "Ceuk urang oge tipu," ujarku kepada Deni dan Indra. Tanpa diminta, aku langsung menyambar makanan ringan yang ada di atas meja.
Pukul 22.30 WIB, kami mendapat kabar jenazah akan dimakamkan. Setelah pamit kepada pemilik rumah, kami berangkat menuju masjid. Aku dan Kemal menaiki motor menuju lokasi pemakaman. Sementara teman-teman wartawan lain, berjalan mengikuti rombongan. Lokasi pemakaman berada sekitar 1,5 Km dari Masjid Al Furqon. Karena gang yang dilalui kecil, aku dan Kemal memarkir motor, tidak jauh dari gang. Seperti biasa, gang yang dilalui sangat gelap. Beberapa kali aku hampir terjatuh. Suara anjing menggonggong mengiringi perjalanan rombongan menuju lokasi pemakaman yang hanya diterangi obor dan sebuah lampu neon. Beberapa kali aku terpaksa melangkahi makam, sekadar mencari lokasi yang tepat untuk mengambil foto. Beberapa warga tampak mengenakan masker mengingat jenazah korban merupakan korban suspect flu burung. Seolah melupakan kondisi itu, aku dan teman-teman lainnya terus mendekati liang lahat tanpa mengenakan masker. Begitu jenazah dikubur, peti mati langsung dibakar. Di sela-sela pemakaman, kami sempat berfoto di dekat obor. Hasilnya lumayan bagus. "Mang tingali hasil fotona, bisi aya penampakan," ujar Tasdik. Aku tersenyum sambil melihat hasil foto. "Euweuh mang," jawabku.
Sebelum prosesi pemakaman selesai, aku, Aep, Abah, Kemal, Boi, dan Indra, meninggalkan makam terlebih dulu. Dalam kondisi gelap, aku berjalan paling belakang. Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja, aku merasa tidak nyaman berada di posisi itu dan berusaha menyalip Abah yang ada di depanku. "Gancang euy!" ujarku setengah berlari. Kami akhirnya tiba di mulut gang. Aku langsung mendekati motor. Teman-teman lantas menyuruh Indra mengambil mobil. Indra sepertinya enggan berangkat sendiri mengambil mobil. "Baturan euy. Embung urang sorangan mah, poek. Ke aya nu milu dina mobil," kata Indra. Kemal pun menawarkan diri mendampingi Indra mengambil mobil. "Hayu, ku urang dibaturan," kata Kemal. Rombongan pengantar jenazah sudah bubar. Setelah Indra datang membawa mobil, kami beranjak pergi kembali ke Garut Kota. "Mang, motorna abuskeun ka mobil lah," candaku karena agak malas harus menempuh perjalanan menuju Garut Kota dengan menaiki motor. Teman-teman tertawa. Aku dan Kemal menyalakan motor dan melaju di kegelapan malam. "Ente di hareup, ke ku urang dikawal," seru Indra. "Siap mang!!" jawabku. Di kawasan Leles, rombongan berhenti sejenak karena Pak Dikdik mengajak kami membeli nasi goreng. Akhirnya, penderitaan kami berakhir di tempat nasi goreng.
"Cintailah pekerjaanmu, tapi jangan pernah jatuh cinta kepada perusahaanmu, karena kamu tidak pernah tahu kapan perusahaanmu berhenti mencintaimu"
06 November 2008
Korban Flu Burung Itu Warga Garut
Label: berita, perjalanan
1 komentar:
wah... luar biasa, ceritanya mani bagus ditambih jalan cerita lebih detil aya lengkap penderitaan memakan nasgor, sukses selalu mang... salam buat keluarga. OK.
Posting Komentar