TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

KOMENTAR TERBARU

17 Juni 2008

Anakku dan Puri Misteri


Janjiku mengajak si kecil ke rumah hantu akhirnya terwujud juga Sabtu (14/6) lalu. Di mal Yogya Jalan Kepatihan lantai paling atas, dahaga anakku melihat “hantu” terpuaskan setelah menyusuri lorong gelap arena permainan bernama Puri Misteri. Ah, di usia yang hampir empat tahun, tingkat kepenasaran Gisavo anakku, memang sangat tinggi. Dia belum mau menyentuh permainan lain, sebelum betul-betul masuk ke rumah hantu. Padahal, di lantai paling atas mal Yogya, banyak sekali arena permainan anak-anak, mulai dari komidi putar, bombom car, sampai permainan mobil koin yang cuma bisa goyang. Aku sendiri heran, darimana ia mendapat ide mengajakku ke rumah hantu.

Niat anakku melihat hantu memang sudah disampaikan seminggu sebelumnya, saat aku masih berada di Garut. Suatu malam, ia meneleponku dan mengutarakan keinginannya itu. Entah apa yang terbayang dalam pikirannya tentang sosok hantu. Yang jelas, ajakannya lewat telepon terdengar begitu serius. “Bapak, pulangnya kapan? Kalau pulang, kita ke rumah hantu yuk?” ajak anakku. Karena libur hari Sabtu, aku pun hanya bisa mengajaknya pergi ke rumah hantu pada hari Sabtu. Hampir setiap malam, pembicaraanku lewat telepon dengannya selalu berkisar tentang hantu. Sampai akhirnya aku pulang Jumat (13/6) malam, dia masih mengingatkanku soal rencananya pergi ke rumah hantu. “Pak, besok-besok jadi kan ke rumah hantu?” tanyanya. Aku mengiyakannya. “Iya, besok kita pasti ke rumah hantu, berdua aja,” jawabku.

Setiap akhir pekan, saat libur, aku memang selalu menyempatkan bermain berdua dengan Gisavo. Tapi, Sabtu kali ini terasa berbeda. Tiba-tiba saja, dia terasa begitu ingin dekat denganku. Sejak bangun tidur sampai akhirnya kita pergi, pandangan Gisavo seolah tak mau lepas melihatku. Aku menangkap kekhawatiran di wajahnya. Khawatir aku membatalkan rencananya pergi ke rumah hantu. “Tenang Gi, bapak libur. Kita jadi ke rumah hantu,” aku mengelus kepala kecilnya. Anakku tersenyum. Ia mengerti apa yang kukatakan. “Sekarang mending Gisa tunggu di depan. Bapak manasin motor dulu,” ujarku. Ia menuruti perintahku dan duduk manis di kursi depan. Hanya saja, matanya tetap mengawasi gerak-gerikku. “Bapak, jangan lama-lama ya,” teriaknya.

Pukul 10.00 WIB, kami berangkat menaiki motor. Anakku duduk di depan. Dia mengenakan helm hitam dengan kaca yang sudah pecah dua. Tujuan kami hanya satu, Yogya Jalan Kepatihan. Sepanjang perjalanan, kita berbincang-bincang seputar masalah hantu. Nada bicaranya terdengar berapi-api. “Hmm, dia mungkin belum tahu apa yang disebut hantu,” kataku dalam hati. Aku mengemudikan motor dengan pelan hingga kami baru tiba di mal Yogya Jl Kepatihan sekitar pukul 10.45 WIB. Begitu turun dari motor, anakku sempat kaget, karena tempat yang dituju tidak seperti yang dibayangkan. “Bapak, ini bukan rumah hantu, Gisa kan mau ke rumah hantu,” tanyanya. Memang, saat itu aku parkir tepat di sebelah lokasi pameran. Anakku tahu betul, apa itu pameran karena kerap ikut eyangnya melihat pameran di Metro Trade Center (MTC). “Nanti, kita naik. Rumah hantunya ada di paling atas,” jawabku. Kami akhirnya naik ke lantai paling atas.

“Gisa, bapak mau tanya lagi, Gisa bener mau masuk rumah hantu?” aku sempat meyakinkan si kecil mengenai keinginannya melihat hantu begitu tiba di arena permainan anak-anak mal Yogya. Dengan lantang dia menjawab. “Iya pak. Kan Bapak janji mau bawa Gisa ke rumah hantu. Katanya di rumah hantu banyak hantunya pak,” jawab anakku. “Gisa mah gak takut sama hantu, kalau ada hantu, berdoa aja,” kembali anakku berceloteh. Tanpa bertanya lagi, aku pun mengajak si kecil membeli koin. Harga satu koin Rp1.250, sementara untuk masuk Puri Misteri, satu orang harus membeli 2 koin. Aku pun memutuskan membeli 10 koin.

“Jadi pak masuk rumah hantu?” tanya anakku setelah koin kubeli. “Jadi…. Tenang aja, kalau Gisa takut, peluk aja bapak,” jawabku. Anakku mengangguk. Sebelum koin dimasukkan, wajah anakku terlihat sumringah. Aku sempat melihat ke kiri dan ke kanan. Rupanya, tidak ada lagi yang berminat masuk Puri Misteri kecuali kami berdua. “Gisa duluan aja, bapak di belakang,” aku menyuruh anakku berjalan di depan. Anakku berjalan di depan. Namun, sekitar empat langkah orang dewasa, wajahnya tiba-tiba berubah. “Bapaaaaaaakkk,” ia berteriak dan berlari berbalik arah. Rupanya, hantu pertama membuat dia kaget. “Tenang aja, kan ada bapak. Kalau hantunya ngagetin, Gisa kagetin lagi aja,” aku menenangkan anakku yang terlihat mulai mogok berjalan. “Gisa berani kan sama hantu?” tanyaku. Anakku mengangguk. “Berani pak,” jawab anakku sambil melepaskan pelukannya.

Gisavo kemudian melanjutkan langkahnya. Ia betul-betul mengikuti perintahku. Meski terlihat masih dibalut rasa takut, dia selalu berusaha membuat kaget setiap hantu yang dilihatnya. Namun, di pertengahan jalan, dia kembali menghentikan langkahnya karena lorong sudah mulai gelap dan suara-suara mengerikan mulai terdengar. Aku sadar, kali ini dia sudah mulai betul-betul takut. “Gisa takut?” tanyaku. Dalam gelap, aku bisa melihat wajah kanak-kanaknya gelisah. Matanya sudah mulai sendu. “Iya pak, Gisa takut,” nada suaranya bergetar. Aku pun memeluknya erat-erat dan menggendongnya melalui lorong-lorong gelap dan sempit. Wah, lumayan mengerikan juga. Wajar sekali kalau anakku ketakutan. Dalam pelukan, aku mendengar suara anakku berdoa. Saat itu, ia mungkin mengingat pesanku agar setiap melihat hantu berdoa. “Bismillah, Bismillah,” begitu ucap anakku setiap kali melihat hantu-hantuan yang ada di balik jeruji.

Aku sempat kebingungan ketika sama sekali tidak menemukan jalan keluar. Ternyata lorong yang kulalui bersama anakku salah, hingga kami berdua malah berjalan memutar ke lorong yang sama. Tentu saja, anakku yang sudah dibalut rasa takut, tahu persis kalau aku salah jalan. Dia hapal betul hantu-hantu yang sudah dilihatnya. “Bapak, kok jalannya muter-muter aja. Gisa pengen pulang aja,” anakku mulai panik. Mendengar suaranya, aku jadi ikut panik. “Iya, tenang, nanti juga pulang. Bapaknya salah jalan,” kembali aku menenangkan anakku. Benar saja, bukannya menemukan jalan keluar, aku malah kembali menuju pintu masuk yang tidak bisa dibuka dari dalam. “Bapak salah jalan, seharusnya tadi belok kiri. Jadi mendingan muter lagi aja pak,” kata salah seorang penjaga. Tawaran penjaga itu aku sampaikan pada anakku. Kontan saja, anakku menolaknya karena sudah malas melalui lorong itu lagi. “Ya udah, kalau mau lewat sini, bapak loncat aja,” ujar penjaga itu lagi. Kami akhirnya terpaksa menaiki pintu masuk. Anakku lebih dulu, aku menyusul di belakangnya.

Lepas dari Puri Misteri, kami duduk di dekat arena permainan bernama Rumah Kaca. Aku tanya kesan pertama dia melihat hantu. Saat itu, wajahnya sudah mulai normal dan tidak lagi terlihat takut. “Kalau hantu yang putih, Gisa gak takut, kalau hantu yang berwarna, Gisa takut,” jawab anakku. Mungkin yang dimaksud anakku dengan hantu berwarna adalah hantu yang berdarah-darah. “Mau masuk rumah hantu lagi?” tanyaku. Anakku terlihat berpikir. “Ngga ah, Gisa gak mau masuk rumah hantu lagi” jawabnya. Akhirnya, aku mengajaknya masuk ke rumah kaca, sebuah arena permainan yang dipenuhi cermin. Keluar dari rumah kaca, mata anakku kembali menatap Puri Misteri. “Pak, kalau banyakan, Gisa mau masuk rumah hantu lagi,” ujarnya tiba-tiba. Rupanya ia sempat melihat rombongan anak SMA masuk ke rumah hantu. “Ah, nanti kamu takut lagi,” aku kembali mencoba meyakinkan keinginannya. “Bener pak, nanti kalau banyakan, kita masuk rumah hantu lagi ya,” pinta anakku. Aku pun menuruti kemauannya. Sambil menunggu rombongan lain masuk, aku membeli 10 koin lagi.

Rombongan anak SMA tiba di Puri Misteri. Semuanya wanita. Anakku jeli melihatnya. Ia langsung berteriak. “Pak, itu udah ada yang banyakan. Kita masuk lagi yuk!!” teriaknya sambil berlari menuju pintu masuk Puri Misteri. “Ayo, jangan sampai ketinggalan,” teriakku sambil berlari mengejar si kecil. Bersama 5 anak SMA, kami kembali masuk Puri Misteri. Benar saja, kali ini, anakku lebih percaya diri. Dia lebih tenang menghadapi hantu-hantu yang dilihatnya, meski di pertengahan jalan, persis di lokasi yang sama, dia kembali minta digendong karena lorong kembali gelap. Tidak seperti sebelumnya, kali ini aku tidak salah jalan. Bersama rombongan anak SMA yang heboh-heboh, kami pun berhasil keluar dari lorong Puri Misteri. Wajah anakku terlihat tegang tapi senang. “Pak, besok-besok kita ke rumah hantu lagi yuk, tapi banyakan,” ujar anakku begitu keluar dari Puri Misteri. Tentu saja Gisavo. Aku akan selalu berusaha mewujudkan keinginanmu. “Iya, besok-besok kita ke rumah hantu lagi. Sekarang, kita cari makan,” aku menutup pembicaraan soal hantu, karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB dan anakku harus makan siang.

Related Posts by Categories



1 komentar:

jelita mengatakan...

wah ternyata gisa akhirnya taj=kut juga sama hantu, katanya engga takut , haha dasar bocah

Posting Komentar

Kabar Terpilih

Rida Farida, Nyaman setelah Berhijab

Di balik hijab selebritas Indonesia, tersimpan banyak cerita. Ada yang sekadar cari sensasi, tak sedikit mengejar popularitas. Namun, ti...

Standings provided by whatsthescore.com

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra