Siang tadi di Jalan Ranggalawe Kabupaten Garut tepatnya di depan sebuah Rumah Makan (RM) Padang, aku melihat seorang tukang parkir yang berpenampilan agak unik. Dibilang unik, karena meski memakai rompi oranye khas tukang parkir, ia tampak rapi. Layaknya seseorang yang baru pulang dari pesta pernikahan, pria itu mengenakan kemeja dan celana katun lengkap dengan dasi serta kopiah. Waah, sepertinya baru kali ini aku melihat tukang parkir berdasi. Makanya, sehabis menyantap makan siang bersama Kabag Humas Dikdik Hendrajaya dan beberapa wartawan lainnya, aku menyempatkan diri berbincang dengan tukang parkir berdasi itu di sela-sela kesibukannya mengatur mobil dan motor yang hendak parkir atau keluar dari rumah makan.
“Saya sudah tiga tahun mengenakan dasi saat bekerja jadi tukang parkir,” kata pria satu anak yang belakangan diketahui bernama Joni Syam, 44. Warga Jalan Gunung Lumbung Kecamatan Garut Kota itu pun menceritakan alasannya menjadi tukang parkir dengan pakaian rapi dan berdasi. “Kalau jadi tukang parkir, saya sudah tujuh tahun,” ujar Joni membuka cerita. Menurut Joni, pada suatu hari tiga tahun lalu, ia bersama istri diundang ke sebuah acara pernikahan. Namanya memenuhi undangan pernikahan, pakaian yang dikenakan juga harus rapi. Maka, berangkatlah Joni dan istri ke acara pernikahan tersebut dengan mengenakan kemeja, celana katun, dan dasi di leher. Rupanya, jiwa tukang parkirnya terus melekat. Sehabis acara pernikahan, tugas mengatur kendaraan yang parkir di RM Padang Jalan Ranggalawe memanggilnya. Tidak langsung ke rumah, Joni pun bergegas berangkat kerja, masih lengkap dengan mengenakan kemeja dan dasi.
“Saya memarkirkan kendaraan masih dengan mengenakan pakaian rapi terus pakai dasi karena baru pulang dari hajatan dan tidak langsung ke rumah. Ternyata, uang yang saya dapat dari parkir saat itu banyak. Makanya, sejak saat itu, setiap bertugas, saya selalu pakai kemeja dan dasi,” kata Joni tanpa mau menyebutkan berapa uang yang dihasilkannya setiap hari sebagai tukang parkir. Bagi Joni, menjadi tukang parkir tidak bisa dinilai dari jumlah penghasilan, melainkan kenyamanan bekerja. Meski rata-rata uang yang diperolehnya setiap hari relatif kecil, Joni mengaku tetap akan mempertahankan pekerjaannya itu. “Saya bekerja sambil beramal. Jangan dihitung dari uangnya, tapi dari kenyamanan bekerja. Selama ini, saya merasa nyaman bekerja menjadi tukang parkir,” tandas Joni. Saat ini, Joni mengaku memiliki 40 dasi yang dia pakai bergantian setiap tugas. Seluruh dasi itu ia peroleh dari pemberian orang. “Buat apa saya beli dasi. Mendingan buat beli beras,” Joni tersenyum.
Sebelum menjadi tukang parkir, Joni mengaku sempat kerja kantoran, mula dari menjadi tenaga honorer di Pemkab Garut, mengelola KUD, sampai mengerjakan sebuah proyek besar. Selain itu, dia juga mengaku mahir menggunakan komputer dan cukup paham berbahasa Inggris. Lantas, kenapa Joni tidak mau kerja kantoran lagi? “Sudah cukup saya kerja kantoran. Mending jadi tukang parkir. Tak terikat waktu. Bebas datang kapan saja,” ujar Joni. Ungkapan Joni mungkin benar. Dari pekerjaan sebagai tukang parkir, dia berhasil membiayai keluarganya hingga menyekolahkan anak. Sekarang, anaknya sudah besar dan menimba ilmu di salah satu SMP di Garut. “Saat menjadi tukang parkir, saya juga banyak belajar menghargai orang, dan tidak dihargai orang. Ada orang yang sama sekali tidak mau bayar meski sudah saya parkirin kendaraannya. Ada juga orang yang betul-betul menghargai pekerjaan saya, dan memberi upah layak,” kata Joni. Dia lantas berlari mengejar sebuah mobil yang hendak keluar dari halaman rumah makan. Ah, tukang parkir saja bisa berpakaian rapi. Kalau wartawan????
2 komentar:
anjirr...alus euy blog na mang!
Hahaha, kan belajarnya sama2..... :)
Posting Komentar