TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

KOMENTAR TERBARU

09 Juli 2008

Hari yang Melelahkan

Barangkali inilah kali pertama aku liputan jauh sejak berada di Kabupaten Garut hampir dua bulan yang lalu. Itu pun aku lakukan secara tidak sengaja dan tanpa perencanaan matang terlebih dulu. Awalnya, Selasa (8/7) sekitar pukul 10.00 WIB, Indra Trans TV tiba-tiba mengajak teman-teman wartawan berangkat Desa Karangsari, Kecamatan Pakenjeng, yang berjarak sekitar 80 Km dari Garut Kota. Menurut kabar dari April Parlindungan, seorang aktivis lingkungan yang sudah berada di Pakenjeng, kawasan tersebut mulai mencekam menyusul kehadiran pasukan Brimob terkait pencarian 10 tersangka kasus perusakan kebun kelapa sawit milik PT Condong. “Hayu urang ka Condong, rame!!” ajak Indra kepada teman-teman media elektronik dan cetak.

Berbeda dengan hari sebelumnya saat Abah Janur Anteve mengajak wartawan berunjukrasa, ajakan Indra tidak berjalan mulus. Beberapa teman-teman, termasuk aku, tidak terlalu bersemangat menerima ajakan tersebut. Alasannya, jarak tempuh dari Garut Kota menuju Pakenjeng yang konon memakan waktu 3 jam. Jika dihitung-hitung dengan waktu liputan sekitar satu jam, aku tidak mungkin bisa kembali ke kota dalam waktu singkat. Terlebih lagi, jadwal deadline di koran tempatku bekerja yang ketat. “Urang moal kaburu sigana. Deadline jam 5. Sok wae lah,” ujarku menolak ajakan Indra. Teman-teman media cetak lainnya juga bersikap sama, termasuk Kemal Tribun Jabar. Satu-satunya wartawan cetak yang agak semangat ikut barangkali Aep Priangan.

“Geus urang kana motor,” ajak Indra lagi. Namun, beberapa teman lain mengusulkan tawaran menggunakan mobil. Salah satunya dilontarkan Abah Janur. “Ke urang nginjeum mobil heula,” kata Abah. Walhasil, semua teman-teman menunggu kabar mobil yang akan dipinjam Abah. Aku, Kemal, dan Inul Galamedia, berbincang-bincang membicarakan ikut tidaknya kami ke Pakenjeng. “Kira-kira, nyampe ngga jam 3 kita sudah ke ruang humas lagi?” tanyaku kepada Deni Meungeung Indosiar. Deni pun menghitung waktu. Secara logika, ia berpikir tidak mungkin bisa kembali ke ruang humas pada sore hari mengingat jarak tempuh yang jauh, dan jalan menuju lokasi yang rusak. “Paling juga malam baru sampai di humas,” ujar Deni. Akhirnya, aku kembali mengurungkan niat ikut, setelah sebelumnya sempat pikir-pikir.

Mobil yang dijanjikan Abah Janur belum juga muncul sementara waktu terus bergulir hingga menunjukkan pukul 11.00 WIB. Indra terlihat mulai gelisah. “Ceuk aing oge kana motor, deukeut da, moal leuwih ti sajam. Sore ge nepi deui ka ruang humas,” kata Indra. Matanya melirik ke arahku sebagai tanda ajakan. Mendengar perkataan Indra, niatku untuk tidak ikut kembali goyah. “Geus kana motor lah, milu jeung urang,” ajak Indra. Aku kemudian meminta jaminan agar bisa sampai ke ruang humas sekitar pukul 15.00 WIB, atau paling telat pukul 16.00 WIB. Dengan penuh keyakinan, Indra menyanggupinya. “Paling ge urang bisa nepi ka humas jam 3-an. Kalau pake mobil memang lama. Pake motor mah, cepet. Paling satu jam juga udah nyampe. Serius mang,” kata Indra dengan wajah penuh keyakinan. Aku pun tergiur tawarannya. “Jam 4 geus nepi ka humas kan?” tanyaku memastikan. “Nepi mang, dijamin, matakna kana motor, dibonceng ku urang,” jawab Indra.

Aku melirik ke arah Kemal. “Geus milu we mang,” kata Kemal. Akhirnya, aku menerima ajakan Indra. “Bawa tas urang atuh,” kata Indra. Dengan bayangan bisa kembali ke ruang humas pukul 16.00 WIB, aku pun duduk di belakang jok motor New Yamaha Vega milik Indra. Sementara teman-teman lain memutuskan untuk pergi dengan menaiki mobil dewan. “Barudak aya di dewan mang. Urang ka dewan heula nya,” kata Indra. Kami pun meluncur ke gedung dewan, tidak jauh dari ruang humas. Benar saja. Teman-teman masih terlihat duduk-duduk di halaman dewan menunggu pinjaman mobil. “Urang tiheula jeung si gin2 kana motor nya!!” teriak Indra sambil melajukan motornya. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Hmm, kalau berdasarkan perhitungan Indra, aku bakal sampai ke lokasi sekitar pukul 12.00 WIB. “Kita lihat saja nanti,” pikirku dalam hati.

Indra pun mulai memacu motor Yamaha Vega-nya dengan cepat. Wuss, wuss, kendaraan di depannya terus disalip. Aku sempat melihat speedo meter motornya. Wuih, kecepatan rata-rata mencapai 80 Km. Kalau lagi sepi, kecepatan bisa sampai 100 Km. Pantas saja Indra berani menjanjikan sampai ke lokasi selama satu jam. Dia mengendarai motor layaknya Valentino Rossi, meski lebih tepat disebut tukang ojek. Jalur pertama yang dilalui adalah Kecamatan Samarang, kemudian berlanjut menuju Bayongbong, Cisurupan, Cikajang, dan Pamulihan. “Geus deukeut mang, sakeudeung deui pakenjeng,” ujar Indra sambil terus memutar gas motornya kuat-kuat. “Oh kitu?” tanyaku. Aku menghela napas panjang. “Akhirnya, penderitaan ini segera berakhir,” gumamku. Benar saja, setengah jam kemudian kami sampai di Kecamatan Pakenjeng. “Ke heula mang, urang telepon si April,” kata Indra sambil menghentikan motor tepat di depan warung kopi. Kebetulan, aku pun berniat mengisi batere HP yang sudah habis. Indra kemudian menelepon April. Usai menelepon, ia duduk memesan kopi. “Ke si April ngajemput di daerah Tegal Gede. Da urang ge teu apal lokasina. Geus ayeuna mah nyantai heula,” ujar Indra.

Indra memang tidak menepati janjinya. Kami sampai di Pakenjeng sekitar pukul 12.30 WIB. Berarti ada selisih lebih setengah jam dari waktu yang dijanjikannya. Tapi, melihat hari masih siang, aku yakin bisa tiba kembali di ruang humas pada sore harinya. Apalagi dengan kecepatan seperti tadi. Limabelas menit berlalu. Setelah berusaha mengontak teman-teman lain namun gagal, kami akhirnya melanjutkan perjalanan. “Hayu mang, lanjut,” ajak Indra. “Siap,” jawabku. Indra kembali memacu motornya dengan cepat. Setengah jam berlalu, Desa Karangsari belum juga ditemukan. “Mana si April, telepon deui. Ieu geus di Tegal Gede,” kata Indra. Aku kemudian mengontak April. Rupanya, si April tidak jadi menjemput kami di Tegal Gede. Ia mengaku sibuk mengkondisikan warga Karangsari. “Tanyakeun we Desa Karangsari,” kata April dari balik telepon. Tanpa bantuan April, kami pun menanyakan lokasi Desa Karangsari ke sejumlah warga. Sudah satu jam berada di motor, belum ada satu pun warga yang kami temui. Ruas jalan sudah mulai rusak, sementara Indra tetap bersikukuh memacu motornya. Akhirnya, kami berhasil menemui warga sekitar. Saat ditanya lokasi Desa Karangsari, dia menganjurkan agar kami terus lurus hingga menemui perempatan. “Cilaka Ndra. Jauh keneh ieu mah,” kataku. “Enya mang,” jawab Indra.

Hampir 15 Km kami melalui jalan rusak hingga tiba di perempatan yang disebutkan warga tadi. Di sana, terlihat kerumunan warga yang sedang duduk di sebuah pos. “Kang, ka Karangsari ka mana?” teriak Indra. “Terus wae lurus,” jawab salah seorang pemuda. “Masih jauh?” tanya Indra lagi. “Paling ge 15 menit deui,” kembali pemuda itu menjawab. Huh, 15 menit versi warga pasti berbeda dengan versi kami. Apalagi, jalan yang akan dilalui hanya berlapis batu. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB. “Ah, alamat tidak bisa pulang ke Garut Kota sore hari nih,” gumamku. Indra memang betul-betul gila. Dalam kondisi jalan berbatu, ia masih memacu motornya dengan cepat. Jalanan semakin sepi. Di kiri-kanan, kami hanya melihat kebun rindang. Di pertigaan jalan, aku sempat menanyakan kembali lokasi Desa Karangsari kepada seorang pegawai PT Condong. Ia menunjukkan jalan agar kami terus lurus mengikuti jalan berbatu. Di sebuah tempat, kami melihat ribuan pohon kelapa sawit yang habis terbakar. “Tah mang, ieu teh kalapa sawit nu dibakar warga,” kata Indra seperti seorang guide yang sedang memandu wisatawan.

Puas melintasi jalan rusak, akhirnya kami tiba di Desa Karangsari. Rupanya, dari desa tersebut kami bisa melihat keindahan Pantai Pameungpeuk. Sepanjang perjalanan di ruas jalan desa, kami melihat sejumlah anggota Brimob yang berjaga-jaga di sekitar jalan, dan rumah warga. Mereka tampak membawa senjata laras panjang. “Urang nelepon si April heula mang,” kata Indra. Rupanya April tidak ada di tempat. Ia sedang berada di Taman Manalusu. Tidak jelas apa yang dia kerjakan di sana. Kami hanya diminta menunggu dijemput salah seorang teman April di kantor desa. “Tungguan di dieu, ke aya nu ngajemput,” kata Indra. Sambil menikmati minuman dingin, kami pun menunggu jemputan. Selang beberapa menit kemudian, jemputan datang. Kami dipandu ke sebuah rumah di tempat bernama Munjul. Di sana sudah menunggu beberapa warga yang hendak memberikan keterangan seputar kehadiran Brimob di Desa Karangsari. Tiba di Munjul, Abah menelepon. Ia menanyakan posisi kami. Karena sulit menjelaskan, warga yang tadi menjemput kami kembali merelakan diri menjemput Abah bersama rombongan. Setengah jam kemudian, rombongan Abah yang terdiri dari Ibu Niknik Medikom, Boi TPI, Deni Indosiar, Tasdik Elshinta, Aep Priangan, Irwan Kuir RRI dan Ukas Rex Radio, tiba di Munjul.

Seorang warga yang belakangan diketahui bernama Maman, 32, kemudian angkat bicara. Ia mengeluhkan kondisi warga Desa Karangsari yang resah atas keberadaan anggota Brimob di desa tersebut. Hampir setiap hari, kata Maman, seluruh pasukan Brimob menyisir rumah warga untuk mencari provokator pembakaran kebun kelapa sawit. Beberapa anggota Brimob di antaranya, lanjut Maman, bahkan sempat mengeluarkan kata-kata ancaman kepada warga. “Bayangkan saja. Sejak satu bulan yang lalu, aktivitas warga diawasi oleh pasukan Brimob. Setiap hari, mereka melakukan patroli ke rumah warga untuk mencari 10 orang yang menurut mereka menjadi tersangka kasus pembakaran kebun kelapa sawit milik PT Condong,” kata Maman.

Cerita pun mengalir. Tasdik dan Ukas, menyalakan tape, merekam seluruh pembicaraan Maman. Akhirnya, karena data sudah dirasa cukup dan waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, aku dan Indra berinisiatif keluar rumah untuk mengambil gambar aktivitas anggota Brimob di Desa Karangsari. Teman-teman lain mengikuti dengan menaiki mobil. Sayangnya, jumlah personel Brimob yang kami temui sudah mulai menyusut, tidak seperti saat kami baru memasuki Desa Karangsari. Berdua saja kami mengambil gambar aktivitas Brimob, dan beberapa warga setempat. Sementara Abah dan rombongan tertinggal di belakang. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. “Hayu ah, geus sore. Urang geus deadline,” aku mengajak Indra pulang. Indra mengiyakan ajakanku dan kami pun berangkat menuju Garut Kota. “Gak ada jalan lain lagi?” tanyaku karena membayangkan jalur yang akan dilalui nanti masih sama dengan jalur yang tadi. “Euweuh deui mang,” jawab Indra.

Yahh, dasar nasib. Kami pun terpaksa harus kembali menyusuri jalan yang sama. Hanya saja, kali ini kami tak lupa mengabadikan diri di beberapa tempat yang dirasa indah. “Lumayan mang, itung-itung ulin,” Indra berseloroh. Usai berfoto, perjalanan dilanjutkan. Saat tengah berfoto dengan latar belakang Pantai Pameungpeuk, HP-ku berbunyi. Jakarta menelepon minta listing. Mengetahui posisiku di Garut Selatan, asisten redaktur memberi keringanan deadline hingga pukul 19.00 WIB. Seperti saat berangkat, Indra tetap memacu motornya dengan kencang. Kabut mulai turun di perkebunan teh. “Lapar mang, dari pagi belum nemu nasi,” kata Indra. Aku pun menimpali. “Sarua mang, saya ge can makan ti isuk,” jawabku. Kami sepakat berhenti jika menemukan warung nasi. Di Pamulihan, kami mampir di warung nasi. Saking laparnya, aku malah merasa kenyang sehingga makan pun tidak begitu nikmat.

Pukul 18.00 WIB, setelah menghabiskan makan dan sebatang rokok, kami berangkat. Langit gelap, jalan sempit, tapi Indra tetap memacu motornya. Yah, namanya numpang, jangan sekali-kali protes terhadap supir. Meski cukup khawatir dengan kecepatan motor, aku tetap diam. “Yang penting bisa sampai di humas sebelum jam 7 dan langsung ngetik berita,” ujarku. Kecamatan Pamulihan, Cikajang, Cisurupan, Bayongbong, dan Samarang akhirnya terlewati. Kami tiba di ruang humas pukul 19.00 WIB. Baru saja duduk di depan komputer, Jakarta sudah menelepon minta berita segera dikirim. Wuiih, hari yang betul-betul melelahkan.

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar

Kabar Terpilih

Rida Farida, Nyaman setelah Berhijab

Di balik hijab selebritas Indonesia, tersimpan banyak cerita. Ada yang sekadar cari sensasi, tak sedikit mengejar popularitas. Namun, ti...

Standings provided by whatsthescore.com

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra