TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

KOMENTAR TERBARU

30 Juli 2008

Senja di Pantai Santolo

Namanya Pantai Santolo. Berada di Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut, atau sekitar 88 Km dari Garut kota. Seperti pantai lainnya di wilayah Selatan Jawa Barat, laut di Pantai Santolo tidak pernah tenang. Ombaknya juga tak pernah tidur dan selalu berusaha menyapa setiap orang yang datang. Jika menaiki mobil, waktu tempuh menuju Pantai Santolo dari Garut kota mencapai sekitar 3,5 jam dengan kecepatan normal atau rata-rata 60 Km per jam. Tapi versi Indra Trans TV, waktu tempuh Garut kota-Pantai Santolo bisa dipersingkat menjadi 2 jam, atau paling lama 2,5 jam. Perhitungan yang wajar memang, mengingat hobby Indra yang suka kebut-kebutan di jalanan.

Selasa (29/7) lalu, aku pun berkesempatan melongok keindahan Pantai Santolo bersama Kemal (Tribun Jabar), Boi (TPI), Abah Janur (Anteve), Ibu Niknik (Medikom/SCTV), dan Indra (Trans TV). Kebetulan, Kabag Humas Pemkab Garut, Dikdik Hendrajaya mengajak kami pergi bareng ke Pameungpeuk untuk melihat fenomena ikan "hejo tonggong" yang terdampar di pesisir setiap senja, dan kekeringan di wilayah paling ujung di Kabupaten Garut tersebut. Dengan menaiki mobil Kijang biru yang dikemudikan Agus, kami berangkat sekitar pukul 10.00 WIB. Karena terlambat masuk mobil, aku, Kemal, dan Boi terpaksa duduk di jok paling belakang. Abah Janur, Indra, dan Ibu Niknik lebih dulu mengambil posisi duduk di jok tengah, sementara Pak Dikdik sudah pasti duduk di depan. Saat itu, aku sudah membayangkan bagaimana sulitnya perjalanan menyusuri jalan berliku selama 3,5 jam dengan duduk di jok belakang. Huh, membayangkannya saja, perut sudah mulai terasa mual.

Sepanjang perjalanan menuju Pantai Santolo Kecamatan Pameungpeuk, Boi berceloteh, menyampaikan keterangan seputar tempat yang dilalui. Satu jam berlalu, kami melintasi sebuah lembah yang indah di Kecamatan Cikajang. Tanpa ditanya, Boi kembali bercerita mengenai tempat yang akan kita lalui. "Nanti di depan ada tempat bernama Batu Tumpang yang biasa digunakan panjat tebing," kata Boi. Benar saja. Beberapa menit kemudian, kami melintasi sebuah tebing setinggi sekitar 50 meter. Menurut Boi, kontur dan ketinggian tebing di Batu Tumpang cukup menantang para pemanjat tebing di Indonesia. "Saya pernah ke sini bersama crew MNC. Tapi, ogah naik karena tebingnya sangat curam," ujar wartawan TPI yang mengaku pernah bekerja di Epson ini. Boi kemudian melanjutkan ceritanya. "Dulu jam 2 siang, saya dan crew MNC pernah istirahat di sebuah warung kosong. Tiba-tiba ada yang teriak dari warung: minta karung-minta karung!!" ujar Boi. Mendengar teriakan tersebut, Boi dan crew MNC lainnya mengaku langsung pergi karena dikira suara setan. Aku dan Kemal tertawa dan membayangkan wajah Boi saat itu. Tiba-tiba, Abah Janur yang duduk di jok tengah nyeletuk. "Heueuh we, da warung itu tempat ngumpul orang gila!!" ujar Abah. "Oh kitu Bah?" tanya Boi. "Heueuh sampeu!!!" sambar Abah. Kami pun kembali tertawa.

Ruas jalan sudah mulai terus berliku. Tak ada jalan lurus sama sekali. Seperti yang dibayangkan sebelumnya, perut terasa mual. Boi dan Kemal pun tampaknya merasakan hal yang sama. Wajah keduanya sudah tak karuan. Aku berusaha menahan mual dengan terus minum Pocari Sweat. "Sebentar lagi kita sampai di kawasan Gunung Gelap," kembali Boi menerangkan daerah yang akan dilalui. Semakin lama, jalan yang dilalui memang semakin sepi dari rumah penduduk. Pepohonan di kiri-kanan jalan juga semakin rimbun. "Nah, ini sudah masuk kawasan Gunung Gelap," kata Boi. Gunung itu memang pantas disebut Gunung Gelap. Pohon-pohon rimbun tinggi menjulang. Saat melintasi Gunung Gelap, hari terasa sore, padahal waktu baru menunjukkan pukul 01.00 WIB. Aku lupa, berapa meter kami melintasi kawasan Gunung Gelap dan perkebunan teh. Yang jelas, lepas dari kawasan tersebut, kami berhenti dulu di sebuah warung di Kecamatan Cihurip. Pak Dikdik sempat berbincang dengan Camat dan Kapolsek Cihurip sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Pameungpeuk.

Kami tiba di Kantor Kecamatan Pameungpeuk sekitar pukul 14.00 WIB. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pantai Santolo yang berjarak sekitar 2 Km dari kantor kecamatan, beristirahat di sana seraya berbincang dengan Camat Pameungpeuk, Juju Juhana. Menurut Juju, fenomena ikan "hejo tonggong" biasanya muncul sore menjelang malam. Mendengar informasi Camat Pameungpeuk, aku dan Kemal berpikir keras bagaimana mengirim berita untuk terbit di koran keesokan harinya, Rabu (30/7). Pasalnya, meski Rabu merupakan tanggal merah, koran tempatku dan Kemal bekerja sama-sama terbit. "Wah Mal, kayaknya sulit nih kirim berita," kataku kepada Kemal yang terlihat mengantuk saat berada di ruang Camat Pameungpeuk. Kemal pun mengiyakan perkataanku. "Kumaha nya Gin?" tanya dia. Aku tak segera memikirkan jawaban atas pertanyaan tadi. Saat itu, bayanganku hanya satu, segera sampai di Pantai Santolo dan menyaksikan keindahannya. "Soal kirim berita, gimana entar aja lah," ujarku. Satu per satu, kami keluar ruangan camat karena merasa sumpek dan ingin menikmati udara di luar kantor. Di dalam ruangan, hanya tinggal Pak Dikdik dan Camat Pameungpeuk masih berbincang serius. Sambil menunggu Pak Dikdik keluar ruangan camat, kami berfoto depan kantor kecamatan. Pak Dikdik pun akhirnya keluar dan bergabung bersama kami. Sekitar pukul 14.30 WIB, kami berangkat menuju Pantai Santolo.

Kekeringan di wilayah Kecamatan Pameungpeuk rupanya sudah sangat parah. Hamparan sawah yang terbentang sepanjang jalan menuju Pantai Santolo, terlihat mengering. Sayangnya, kami tak sempat mengabadikan kekeringan tersebut, karena ingin segera sampai di Pantai Santolo. Tak sampai setengah jam, birunya laut Pantai Santolo sudah terlihat dari kejauhan. Hawa panas pantai pun mulai terasa. Aroma ikan laut juga tercium jelas. Aku dan Kemal yang sudah sedari pagi menantikan suasana ini bergegas turun begitu mobil berhenti tidak jauh dari bibir pantai. Terik matahari yang menyengat tidak kami rasakan. Yang ada di benak kami saat itu hanya satu, mengabadikan keindahan Pantai Santolo. Teman-teman lain mulai menyusul. Masing-masing bergaya di depan kamera. Kami pun larut dalam kegembiraan setelah menyaksikan birunya laut Pantai Santolo. Tak terasa perut mulai keroncongan. Setelah puas berfoto di bibir Pantai Santolo, kami berjalan menuju sebuah tempat makan. Pak Dikdik dan Camat Pameungpeuk sudah menunggu. Ternyata, mereka sudah menyiapkan makan siang ala Pantai Santolo yaitu ikan kakap bakar. Hmmmm, sudah terbayang betapa nikmatnya menyantap ikan Kakap di pinggir pantai.

Makan siang yang dimulai kesore-sorean selesai. Dua buah ikan kakap ukuran besar ludes tak berbekas. Menjelang senja, aku, Abah, dan Kemal kembali berjalan menuju bibir pantai. Kali ini, kami berfoto di bebatuan penahan ombak. Sejauh mata memandang, hamparan laut terlihat begitu luas. Perahu-perahu kecil nelayan mulai berangkat menerjang ombak yang lama-lama semakin buas. Laut semakin indah saat terik matahari sore memantulkan cahaya keemasan di permukaannya. Sementara bayangan hitam perahu kecil tampak kian menjauh hingga berada di tengah laut. Hmmm, laut dan senja mengingatkanku pada seseorang yang mengaku sangat mencintai perubahan waktu menjelang malam ini. Meski tidak begitu sempurna, pemandangan laut menjelang sore ini tampaknya akan berkesan buat dia. "Hayu Gin," ajak Kemal, karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB dan angin pantai mulai terasa dingin. "Nanti nyusul, saya masih menunggu senja," aku menyuruh Kemal berangkat lebih dulu. Kemal pun berjalan meninggalkanku bersama Abah yang ternyata sudah pergi. Mereka sempat berpapasan dengan Ibu Niknik, Boi, dan Indra. Dari kejauhan, aku melihat Kemal kembali duduk di bebatuan bersama Boi, dan Ibu Niknik, sementara Abah, kembali ke tempat makan. Indra yang awalnya duduk bersama mereka, terlihat mendekatiku. Tidak seperti teman-teman lainnya, Indra sadar untuk terus berada di dekatku. Selain Kemal, selama ini, dia yang paling setia menjadi modelku dalam setiap kesempatan. "Foto mang," kata Indra sambil bergaya menghadap samping dengan latar belakang matahari yang mulai turun menuju kaki langit.

Indra kemudian pergi meninggalkanku sendiri setelah puas berfoto. Saat itu, aku masih punya keinginan yang belum tercapai yaitu berteriak sekuat-kuatnya menghadap laut dan mengabadikan senja di Pantai Santolo sebelum batere kameraku habis. Niat awal mengabadikan fenomena ikan "hejo tonggong" tak dihiraukan lagi. Begitu orang-orang yang duduk di bebatuan pergi, aku berteriak keras-keras menghadap batas langit dan laut yang mulai berwarna kekuningan-kuningan. Setidaknya, teriakan ini membuat beban yang selama ini menggelayuti pikiranku sedikit hilang. Matahari pun semakin tenggelam. Sesaat, aku mengabadikan momen itu karena segaris awan hitam tampak mulai melintas sedikit di atas kaki langit. “Wah, sepertinya senja tak akan muncul dengan sempurna,” pikirku. Benar saja, sebelum sampai ke kaki langit, matahari mulai hilang. Meski begitu, warna langit masih sempat terlihat kemerahan. Ah, senja memang selalu terlihat indah saat berada di laut. Angin mulai bertiup kencang dan ombak semakin meninggi. Bebatuan tempatku berdiri tampak sepi. Namun, bibir pantai tampak dipenuhi orang-orang, termasuk teman-teman wartawan lain. Inilah mungkin saatnya menantikan fenomena kemunculan ikan “hejo tonggong”.

Sebuah fenomena yang unik memang. Puluhan warga berdiri memandang laut sambil membawa jaring, ember besar, dan lampu neon. Setiap ombak datang, mereka turun ke laut sambil membentangkan jaring. Hasilnya memang luar biasa. Ribuan Ikan hejo tonggong atau lebih dikenal sebagai sarden langsung tertangkap jaring. Warga lainnya berteriak gembira sambil berlari memburu ikan tangkapan kerabatnya. Setiap ada warga yang berlari membawa hasil tangkapan ikan, kami pun ikut berlari dan mengabadikan momen tersebut. Semakin malam, warga yang datang semakin banyak. Sayang, teman-teman wartawan televisi lupa membawa lampu. Meski Abah sempat meminjam lampu neon salah satu warga hendak menangkap ikan, suasana riuh di bibir pantai tetap tidak tertangkap dengan baik. “Uing poho mawa lampu,” keluh Abah sambil terus berusaha menyorot ikan-ikan yang terjaring. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Karena peralatan yang dibawa terbatas, kami akhirnya menghentikan liputan. “Sudah cukup ah, gambar moal kaudag,” kata Indra. Dengan membawa hasil liputan yang kurang maksimal, kami berjalan menuju tempat istirahat di sebuah warung tidak jauh dari pantai.

Malam semakin larut. Cahaya lampu petromak dari perahu nelayan di tengah laut terlihat dengan jelas mirip kunang-kunang yang terbang di kegelapan. Sebelum benar-benar kembali ke Garut kota dan melintasi jalan berliku, aku sempat memandang keindahan pemandangan laut di waktu malam. “Hari yang cukup istimewa,” ujarku dalam hati. “Kumaha berita Gin?” tanya Kemal, membuyarkan lamunanku. “Ah, kumaha deui mal, udah lah, sekali ini gak kirim berita, gak apa-apa,” jawabku sambil berjalan menuju mobil. Teman-teman sudah menunggu di dalam mobil. “Gus, ku saya we disupiranna,” tawar Indra kepada Agus. Mendapat tawaran tersebut, Agus hanya tersenyum. Ia sadar maksud Indra, sehingga tidak mau memberikan kunci kepadanya. Aku kembali duduk di posisi semula bersama Boi dan Kemal. Terbayang lagi perjalanan berliku yang memakan waktu panjang dan membuat perut mual. “Ada jalan lain lagi gak?” tanya Kemal. Kontan saja Indra menjawab. “Euweuh deui mang,” jawab Indra. “Sudah siap?” tanya Pak Dikdik. Serempak kami menjawab siap. Mobil pun melaju kembali menyusuri jalan yang sama. Begitulah. Kami pun meninggalkan Pantai Santolo yang selalu gelisah. Sebelum perut mual, aku masih sempat membayangkan saat indah memandang matahari tenggelam di laut Santolo. Sinar matahari memang indah menjelang sore. Ia membuat orang-orang di sekitar merasa nyaman. Tiba-tiba aku teringat sebuah lagu Iwan Abdurrahman alias Abah Iwan berjudul mentari.

“Mentari bernyala di sini, di sini di dalam hatiku. Gemuruh apinya di sini, di sini di urat darahku. Meskipun tembok yang tinggi mengurungku. Berlapis pagar duri sekitarku. Tak satu pun yang sanggup menghalangimu, bernyala di dalam hatiku. Hari ini hari milikku. Juga esok masih terbentang. Dan mentari kan tetap bernyala di sini di urat darahku.“

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar

Kabar Terpilih

Daluang Jangan Sekadar Jadi Cerita

Siang itu, Ahmad Mufid Sururi duduk bersila membelakangi jendela. Selembar daluang yang nyaris sempurna, terhampar di depannya. Sejurus kemu...

YouTube

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra