TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

KOMENTAR TERBARU

16 April 2022

Daluang Jangan Sekadar Jadi Cerita

Siang itu, Ahmad Mufid Sururi duduk bersila membelakangi jendela. Selembar daluang yang nyaris sempurna, terhampar di depannya. Sejurus kemudian, pria yang akrab disapa Mufid itu mulai bekerja. Tangan kanannya menghentakkan pemukul ke atas kertas tradisional khas Indonesia itu. 

"Ini sudah enam hari saya kerjakan. Ada pesanan dari mahasiswa S-2 ITB," kata Mufid, di galerinya, Jalan Koperasi Ujung Berung, Selasa 12 Maret 2022. Pesanan daluang yang dia kerjakan berukuran 2 x 1 meter. Dengan ukuran tersebut, Mufid membutuhkan 8 lembar kulit pohon saeh, bahan dasar daluang. 

 Pada awal pengerjaan, dia menumpuk 8 lembar kulit pohon saeh jadi satu. Menggunakan alat khusus mirip palu, Mufid pun memukul-mukul tumpukan kulit saeh tersebut. 

"Orang Sunda menyebut alat ini 'pameupeuh'. Yang saya pakai replikanya, terbuat dari bahan perunggu," jelas Mufid yang dikenal dengan label 'Toekang Saeh' itu. 

Selain teknik, proses pengerjaan daluang membutuhkan kesabaran luar biasa. Setiap hari, Mufid terus memukulkan 'pameupeuh' ke atas kulit pohon saeh. Hingga hari keenam, daluang pun mulai terbentuk. 

"Sekarang tinggal finishing," ucapnya sambil memperlihatkan hasil karyanya. Bagi Mufid, berkutat dengan daluang dan pohon saeh sudah menjadi jalan hidupnya. Dia mengaku tak pernah bosan menggeluti aktivitas tersebut. 

"Selama masih ada yang merespons saya belum terpikir untuk beralih ke lain hati. Terakhir kan keluarga mahasiswa ITB kemarin datang, kunjungan khusus untuk mengetahui soal daluang," kata pria kelahiran Juli 1974 itu. 

Di mata Mufid, kedatangan keluarga mahasiswa ITB ke galerinya membuktikan daluang masih dirasa penting. Orang masih mencari tempat yang bisa mengakses pengetahuan tentang daluang. 

"Hari ini saya masih mengerjakan tugas salah satu mahasiswa S-2, berarti masih ada yang memerlukan," ujar Mufid. 

Ya, 16 tahun menggeluti daluang atau sejak 2006, Mufid memang punya harapan. Dia ingin membawa daluang menjadi sesuatu yang berharga. Daluang bukan sekadar cerita, tapi jadi sebuah karya bangsa yang mendunia. 

"Seperti halnya hanji, kertas tradisional Korea, atau washi kertas tradisional Jepang yang menjadi merchandise dan mendunia, daluang juga bisa. Negara kita luas, bandara banyak," harap Mufid. 

Cerita pun kembali mengalir. Mufid mengenang masa ketika dia mulai berkenalan dengan daluang yang kini sudah menjadi bagian hidupnya. Sebelum mengenal daluang, selepas SMA tahun 1992, Mufid sempat mempelajari teknik membuat kertas dengan cara cetak saring atau pulping. 

"Nah setelah sekian lamanya, pada 2006 ada yang sengaja datang ke studio saya dulu, memperkenalkan daluang. Ternyata itu adalah tradisi Indonesia namun memang sempat mati," cerita Mufid. 

Sejak saat itu, Mufid pun menjerumuskan diri untuk lebih mengenal daluang. Keinginan tersebut begitu kuat karena sampai saat ini tidak banyak orang yang tahu mengenai kertas khas Indonesia itu. 

"Banyak orang yang tidak mengetahui ternyata daluang bisa diaplikasikan ke dalam berbagai karya. Akhirnya saya memilih mencoba mengeksplor daluang sampai hari ini," kenang Mufid. 

Perjuangan Mufid mempertahankan daluang agar tak punah memang masih panjang. Namun, dia tak patah semangat. Sendiri di galerinya, Mufid mencoba terus berkarya. 

"Sepanjang masih ada permintaan, kebetulan saya masih sehat dan bahan ada, meski akses jauh dijangkau, saya nikmati saja. Dari beberapa kolaborasi, bisa jadi inspirasi bagi orang lain yang belum tahu tentang daluang," kata Mufid.

Sumber: Berita Baik

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar

Kabar Terpilih

Rida Farida, Nyaman setelah Berhijab

Di balik hijab selebritas Indonesia, tersimpan banyak cerita. Ada yang sekadar cari sensasi, tak sedikit mengejar popularitas. Namun, ti...

Standings provided by whatsthescore.com

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra