TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

KOMENTAR TERBARU

25 Desember 2008

Sidang Terbuka Kok Dibatasi?!

Biasanya, dalam sebuah sidang terbuka, wartawan bebas mengambil gambar atau foto suasana sidang, termasuk terdakwa. Namun di Pengadilan Negeri (PN) Garut, kondisinya berbeda. Entah memang merupakan aturan baru di PN Garut atau sudah lama diterapkan, Selasa (23/12) lalu, sebuah pengumuman terpasang di salah satu tembok PN Garut. Isinya berupa larangan bagi para wartawan mengambil foto atau gambar, kecuali sudah mendapat izin dari majelis hakim. Hal tersebut tentu saja membuat para wartawan bingung. Sejak kapan aturan ini dipasang? Kenapa harus izin dulu ke majelis hakim? Toh sidangnya juga terbuka. Berbagai spekulasi terkait larangan tersebut kemudian berkembang. Ada wartawan yang bilang, larangan itu muncul karena kebetulan hari itu merupakan sidang pembacaan vonis bagi 7 terdakwa kasus korupsi dana bencana alam (DBA) yang salah satunya adalah Ketua DPD Partai Golkar Garut, HE Ruhiyat Prawira. Sebab dalam beberapa kali sidang kasus korupsi DBA, wartawan selalu kesulitan mengambil foto karena dihalang-halangi oleh massa pendukung Ruhiyat. Namun ada juga wartawan yang bilang, pengumuman itu dipasang oleh penyusup atau pendukung HE Ruhiyat yang tidak mau kasus tersebut di-blow up media.

Memang, dalam sidang pembacaan vonis kasus DBA, massa pendukung terdakwa yang rata-rata pengurus Partai Golkar itu membeludak. Mereka datang untuk menyatakan simpati kepada para terdakwa meski tampaknya tak begitu mempengaruhi keputusan majelis hakim. Walhasil, pihak PN Garut pun terpaksa menyiapkan kursi cadangan tepat di depan pintu masuk, karena kursi di dalam ruangan tidak cukup. Sidang dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Namun, aku dan beberapa teman lainnya terlambat datang karena terlebih dulu meliput di Dinas Perhubungan (Dishub) Garut untuk menanyakan penurunan tariff angkutan kota. Selain itu berbagai pertimbangan sempat mengemuka sebelum memutuskan meliput sidang tersebut setelah mendapat kabar banyaknya massa yang hadir di persidangan. Beberapa hari sebelum sidang vonis digelar, sejumlah wartawan sempat mendapat ancaman dari pendukung salah satu terdakwa agar pemberitaan mengenai kasus itu tidak terlalu dibesar-besarkan. Mereka juga keberatan jika nama HE Ruhiyat dikaitkan dengan jabatannya sebagai Ketua Partai Golkar Garut dalam setiap pemberitaan kasus korupsi DBA.

HE Ruhiyat sempat marah besar ketika dalam pemberitaan kasus korupsi DBA, media menyebut jabatannya sebagai Ketua Partai Golkar Garut. Dulu, saat kasus ini baru dilimpahkan ke Kejati Jabar, dua wartawan dari dua media berbeda yang bertugas di Garut, yaitu Raden (SINDO) dan Kemal (Tribun Jabar) sempat kena semprot karena menuliskan jabatan HE Ruhiyat dalam pemberitaan. Padahal, yang menulis berita itu bukan mereka melainkan wartawan yang bertugas di Kejati Jabar Bandung. Sejak saat itu, wartawan kerap berhati-hati dalam menuliskan kasus korupsi DBA, termasuk aku yang menggantikan posisi Raden di Garut. Toh, tetap saja, jabatan Ketua Partai Golkar melekat di tubuh HE Ruhiyat. “Yang penting semua koran menyebut namanya sebagai Ketua Partai Golkar. Jadi kalau kena semprot semuanya.” kata salah seorang wartawan.

Saat meliput vonis kasus korupsi DBA, perasaan was was muncul melihat banyaknya massa. Salah seorang wartawan yang hedak mengambil foto HE Ruhiyat tiba-tiba dihalang-halangi oleh massa hingga dia urung mengeluarkan kamera. Aku jadi kesulitan mencari ruang kosong untuk mengambil beberapa foto, apalagi wartawan televisi hingga akhirnya, gagal mengambil foto HE Ruhiyat yang mendapat giliran pertama mendengarkan vonis hakim. Pada kesempatan kedua, aku berhasil mengambil foto terdakwa Ricky Agustian yang juga anak HE Ruhiyat meski dilakukan sembunyi-sembuyi. Sementara lima terdakwa lainnya aku lewatkan karena posisinya tidak begitu menonjol dan kebetulan batere kamera habis. Seluruh terdakwa divonis 4 tahun penjara atau lebih ringan satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengacara banding, JPU pikir-pikir. HE Ruhiyat menangis, Ricky nyaris pingsan usai mendengarkan vonis. Aku juga nyaris pingsan kelaparan karena dari pagi belum makan.

Karena suara hakim saat membacakan putusan tidak terdengar jelas, kami memutuskan menanyakannya kepada salah seorang JPU, Neneng Rahmawati. Aku cukup mengagumi karakternya sebagai JPU karena pertanyaan yang diajukan lugas dan tepat sasaran. Ia kemudian menjelaskan materi vonis. Namun, untuk jumlah uang denda dan ganti rugi, mereka juga tidak mengetahui secara persis. Saat tengah asyik mewawancarai JPU, penasihat terdakwa, Djohan Djauhari menghampiri kami. Ia lantas meminta kami untuk tidak menyebutkan jabatan HE Ruhiyat sebagai Ketua Partai Golkar Garut. Menurut Djohan, kasus ini tidak terkait ada kaitannya dengan partai. “Saya harap teman-teman wartawan mengerti dengan tidak mencantumkan jabatan HE Ruhiyat sebagai Ketua Golkar,” ujarnya. JPU tersenyum, kami terdiam. “Kalau harapan kan tidak perlu dikabulkan ya pak?” celetuk seorang wartawan. “Ya harus,” ujar Djohan lagi. Akhirnya, kami menulis berita itu dengan beberapa catatan. Persoalan jabatan Ketua Golkar nantinya muncul di pemberitaan, seluruhnya menjadi hak redaksi. Toh tugas kami menulis berita sudah terpenuhi sesuai target yang dibebankan masing-masing redaksi.

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar

Kabar Terpilih

Daluang Jangan Sekadar Jadi Cerita

Siang itu, Ahmad Mufid Sururi duduk bersila membelakangi jendela. Selembar daluang yang nyaris sempurna, terhampar di depannya. Sejurus kemu...

YouTube

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra