TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

KOMENTAR TERBARU

14 Januari 2009

Mengenal Gilles, Sang Perakit Gitar



Wajah pria itu bule abis. Perawakannya pun tinggi seperti bule-bule pada umumnya. Namun ia sangat fasih berbahasa Indonesia, bahkan juga bahasa Sunda. Ya, Gilles E.D de NĂ©ve, begitu ia mengenalkan diri. Sejak tahun 2000, pria berusia 54 tahun itu membuka usaha merakit gitar elektrik dan akustik di sebuah workshop Jalan Dago Golf No 3. Tidak tanggung-tanggung, gitar hasil rakitannya kerap menjadi langganan personel grup band papan atas. Sebut saja mantan gitaris Gigi, Baron dan bassis Gigi, Thomas. Atau personel Peter Pan dan Cokelat. Mereka adalah grup band kerap menggunakan gitar hasil produksi Gilles di bawah naungan PT Abadi Senikreasi Indonesia. Kalau dipakai oleh personel band papan atas, tentu saja harga gitar hasil rakitan Gilles nilainya cukup tinggi. Sayangnya, Gilles tidak mau menyebutkan harganya.

Sebetulnya sudah lama aku ingin menulis kiprah Gilles di dunia merakit gitar. Namun, keinginan itu baru tercapai Selasa (13/1) kemarin. Kebetulan, saat itu aku mendapat giliran tugas mencari feature. Maka, begitu keluar dari rumah, niat awalku adalah menemui pria bule itu. Sayang, hujan terus mengguyur Bandung sejak pagi, hingga aku tak bisa ke mana-mana dan memilih diam di rumah orangtua. Lantaran hari semakin siang, aku akhirnya memaksakan diri pergi meski hujan masih turun dengan derasnya. Sebelumnya, aku membuat janji dengan Gilles via telepon. Ia menyanggupi wawancara sekitar pukul 13.00 WIB. “Kita ketemu jam 1 siang di workshop saya Jalan Dago Golf No 3,” kata Gilles saat aku meneleponnya untuk membuat janji. “Oke Pak, saya datang paling telat jam ½ 2,” jawabku. “Jangan ½ 2 tapi jam 1 siang,” tandasnya lagi. “Oke pak. Saya datang jam 1 siang. Terima kasih,” ujarku sambil menutup telepon. Sejurus kemudian, aku melihat jam dinding. “Wah, sudah jam 12 lebih,” pikirku. Khawatir tak bisa menepati janji, aku langsung meluncur meski hujan masih mengguyur dengan lebat.

Setelah tanya sana tanya sini, aku berhasil menemukan workshop milik Gilles. Workshop itu berupa sebuah rumah yang luas dan terdiri dari beberapa ruangan. Di depan, sejumlah gitar elektrik dipajang dengan rapi. Sementara di tengah rumah, terdapat sebuah ruangan seperti studio. Agak ke belakang sedikit, tampak sebuah gudang yang dijadikan tempat merakit gitar. Langkahku untuk memasuki workshop sempat terhenti. Pasalnya, di halaman terlihat seekor anjing sedang duduk memperhatikanku. Lantaran takut masuk, aku sempat kembali menelepon Gilles. “Pak, saya sudah ada di depan workshop,” kataku. “Oh, masuk saja,” jawab Gilles. “Rumahnya yang ada anjingnya pak?” tanyaku basa-basi, berharap dia keluar. “Iya, langsung masuk saja, anjingnya juga diikat,” ia kembali menjawab seolah-olah mengerti kekhawatiranku. Setelah tahu anjing itu diikat, aku pun berani masuk.

Dunia gitar tampaknya memang sudah akrab dengan keseharian Giilles. Dia mengaku sudah menekuni alat musik buatan Italia itu sejak usia 13 tahun. “Semua ini tidak tiba-tiba. Saya mempelajari semuanya. Secara serius, saya mulai mempelajari gitar pada tahun 1969. Saat itu, saya baru berusia 14 tahun dan berminat pada aliran musik Blues Rock Progresive,” kata Gilles saat aku menanyakan awal mula dia mulai tertarik merakit gitar. Beberapa kali Gilles meminta aku untuk tidak mengucapkan kalimat tiba-tiba. “Jangan pernah katakan tiba-tiba. Karena semua ini saya lakukan dengan perjuangan,” tandas Gilles. Di mata Gilles, musik adalah sarana terapi melatih kesabaran. Maka ia berharap musik menjadi pelajaran wajib dan masuk kurikulum sejak sekolah tingkat dasar. “Seharusnya, musik itu menjadi pelajaran dasar dan masuk kurikulum, termasuk bagi anak-anak TK,” kata suami Eni, 54, ini.

Entah karena aku sangat menyukai gitar, wawancara dengan Gilles terasa sangat menyenangkan. Ia tampak terbuka menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan. Proses wawancara bahkan lebih mirip diskusi karena kami juga saling bertukar pikiran. Sesaat sebelum sesi foto di gudang tempat merakit gitar yang ada di belakang workshop, aku sempat meminta Gilles memainkan sebuah lagu. “Bapak kidal?” tanyaku begitu melihat dia memainkan sebuah musik blues dengan gitar elektriknya. “Iya, memang salah kalau saya kidal?” tanyanya. “Ah, ngga pak, saya justru kagum,” jawabku sambil terus mengabadikan kelihaiannya memainkan gitar elektrik. Sampai akhir sesi foto, dia masih terus berbincang mengenai dunia musik di tengah udara Jalan Dago Golf yang betul-betul dingin. Terakhir, Gilles mengatakan keengganannya berangkat ke pusat Kota Bandung. Saking malasnya berada di perkotaan, dia memilih tinggal di kawasan Lembang, di bawah kaki Gunung Tangkuban Parahu. “Kamu lihat bukit itu? Bersama istri, saya tinggal di sana. Saya malas berada di kota. Betul-betul sangat semrawut,” keluh Gilles. “Sama pak, saya juga malas ada di Kota Bandung. Sumpek,” aku mengamininya. Baru saja pamit, HP-ku berbunyi. Yogi Kepala Redaksi (Kepred) menelepon. “Mang ada kebakaran di Naripan,” ucapnya. “Siap Gi, urang meluncur!” jawabku sambil menyalakan motor dan meluncur ke lokasi kejadian.

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar

Kabar Terpilih

Rida Farida, Nyaman setelah Berhijab

Di balik hijab selebritas Indonesia, tersimpan banyak cerita. Ada yang sekadar cari sensasi, tak sedikit mengejar popularitas. Namun, ti...

Standings provided by whatsthescore.com

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra