Malam makin larut di Kabupaten Garut, Minggu (3/8). Jalanan sudah sepi dan cuaca betul-betul dingin saat itu. Gerimis tiba-tiba menghantam wajahku saat memacu motor di kawasan Jalan Raya Garut-Bayongbong. Temanku Kemal (Tribun Jabar) yang duduk di jok belakang, menggigil kedinginan. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Tiga motor di depan yang dikemudikan Tasdik (Elshinta), Boi (TPI) berdua dengan Abah Janur (Antv), dan Indra (Trans TV), terlihat semakin kecil. Sementara satu motor di belakang yang ditumpangi Ahmad (TVRI) dan Ibu Niknik (Medikom/SCTV) masih belum tampak. Menaiki lima motor, malam itu kami berencana mengejar ambulan yang membawa 6 jenazah pekerja bendungan Cimangah I Kampung Urug, Desa Cikedokan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, setelah diautopsi di RS Hasan Sadikin Bandung. Diduga, seluruh korban yang ditemukan di tenda berukuran sekitar 4x5 meter itu tewas keracunan. Berdasarkan informasi dari Bandung, seluruh korban akan dimakamkan malam itu juga. Dari enam korban yang akan dimakamkan, kami memutuskan mengambil lokasi pemakaman terdekat. Namun, lantaran lokasi pasti pemakaman masih belum diketahui, kami pun berniat menanyakannya ke petugas Kantor Kecamatan Bayongbong. Sekadar informasi, Camat Bayongbong merupakan mertua Tasdik, sehingga wartawan Elshinta itu pun didaulat menjadi pemandu jalan. “Camat Bayongbong teh mertua Tasdik mang. Keur si Tasdik mah, anugerah, tapi keur camat mah musibah,” seloroh Abah Janur pada suatu hari.
Jarak dari ruang Humas Pemkab Garut di Jalan Patriot menuju Kantor Kecamatan Bayongbong sekitar 12 Km. Dengan kecepatan yang cukup tinggi, kami tiba di kantor kecamatan sekitar pukul 22.15 WIB. Tasdik masuk lebih awal dan bertemu dengan salah seorang petugas kecamatan. Sialnya, ternyata mobil ambulan yang kami cari sudah tiba di rumah duka masing-masing korban sejak tadi. “Udah dari tadi mobil ambulan datang,” kata petugas tersebut kepada Tasdik. Mendengar informasi tersebut, kami saling berpandangan. Belum sempat berpikir, tiba-tiba terdengar raungan sirine mobil ambulan di Jalan Raya Garut-Bayongbong. “Tuh mang, sirine ambulan,” teriak Indra. Tanpa banyak berdiskusi, kami pun bergegas menyalakan motor dan memacunya menuju Jalan Raya Garut-Bayongbong setelah terlebih dulu pamit ke petugas kecamatan. Benar saja. Begitu sampai di Jalan Raya Garut-Bayongbong, sebuah mobil ambulan melintas. Tanpa pikir panjang, Indra yang melajukan motor terlebih dulu langsung menghentikan mobil ambulan tersebut. Entah sudah mengenal supir ambulan tersebut atau belum, yang jelas setelah sempat terlihat berbincang serius, Indra turun dari motor diikuti teman-teman wartawan TV lainnya. Rupanya, mobil ambulan tersebut membawa jenazah salah satu korban bernama Ahmad, 50, warga Kampung Warubengkung, Desa Kadongdong, Kecamatan Banjarwangi yang cukup jauh dari Kecamatan Bayongbong. Teman-teman wartawan TV kemudian terlihat asyik mengambil gambar jenazah Ahmad dan mobil ambulan. Aku hanya duduk di atas motor menyaksikan kesibukan mereka. Kemal berdiri di dekatku.
Proses pengambilan gambar ambulan dan wawancara petugas yang dilakukan teman-teman wartawan TV selesai. Satu lagi tugas kami adalah mengambil liputan suasana pemakaman korban lainnya karena tidak mungkin mengikuti ambulan menuju Kecamatan Banjarwangi mengingat lokasinya yang cukup jauh. Petugas ambulan menyarankan kami menuju Kecamatan Cisurupan yang berjarak sekitar 9 Km dari Kecamatan Bayongbong. Di sana, ada tiga korban yang akan dimakamkan malam itu juga yaitu Ayip, Tatang, dan Aca. Kami pun bergegas menuju Kecamatan Cisurupan. Kali ini motor Ahmad berada di depan memandu rombongan. Dengan jarak yang berdekatan satu sama lain, kami kembali menembus malam. Cuaca terus bertambah dingin. Aku terus menggigil, demikian pula Kemal yang saat itu lupa mengenakan helm. Sejenak aku memikirkan kelakuan teman-teman wartawan TV saat menghentikan ambulan yang membawa jenazah Ahmad. Bayangkan saja, menjelang larut malam, lima motor mendadak memepet ambulan seperti rombongan begal yang sedang beraksi. Wajar saja, begitu kami berhenti mengelilingi ambulan, beberapa orang yang sedang mengemudikan motor juga ikut berhenti. Mereka sempat menanyakan maksud kami menghentikan ambulan tersebut. “Aya naon ieu teh?” tanya salah seorang pengemudi motor. Dengan bahasa diplomatis, Indra sempat menjawab pertanyaan mereka. “Ini kang, korban yang meninggal di lokasi bendungan,” jawab Indra. “Ooh,” jawab pengemudi motor tadi sambil menjalankan kembali motor RX King-nya.
Ibu Niknik melambaikan tangan kanan, memberi isyarat agar kami membelokkan motor ke kanan. Sebuah jalan desa yang tidak terlalu lebar kami lintasi. Jalan tersebut kadang terlihat terang, kadang terlihat gelap diwarnai sejumlah tanjakan, turunan, dan lubang-lubang kecil. Sebuah motor yang dikemudikan tukang ojek tampak melintas buru-buru. Seperti saat menghentikan ambulan, Ahmad dan Ibu Niknik kemudian meminta tukang ojek tersebut menghentikan motornya untuk menanyakan keberadaan rumah tiga korban tewas yang akan dimakamkan. Dipandu tukang ojek, kami melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan yang lama-lama semakin gelap, sempit dan berbatu. Di kiri-kanan jalan, kami hanya bisa melihat hamparan sawah membentang luas. Kami tiba di sebuah tanjakan yang cukup terjal dan tukang ojek pun meminta kami berhati-hati. Ahmad dan Ibu Niknik melaju terlebih dahulu menembus kegelapan malam. Tukang ojek menunggu di tanjakan. Tiba-tiba, motor yang dikemudikan Ahmad jumping. Akibatnya, Ibu Niknik yang duduk di belakang jatuh terjerembab di atas aspal. Rupanya, saat menaiki jalan menanjak, Ahmad lupa memindahkan gigi motor sehingga kembali ke posisi netral. Saat gigi motor dalam posisi netral, adik kandung Tasdik itu menginjak gigi motor ke posisi satu sementara tangan kanannya masih menarik gas motor hingga ban depan motor naik 45 derajat. Trauma dengan kejadian tadi, Ibu Niknik akhirnya memutuskan berjalan kaki menaiki tanjakan. Selang beberapa saat kemudian, ia terlihat menaiki motor ojek menyusul kami menembus jalan kecil yang hanya bisa dilalui satu mobil. Sebelum sampai ke rumah duka, kami berpapasan dengan dua mobil ambulan. Setelah melalui jalan kecil menanjak dan berkelok-kelok, kami tiba di rumah duka Kampung Sindang Daun, Desa Pakuwon, Kecamatan Cisurupan sekitar pukul 23.30 WIB. Tiga jenazah tampak disalatkan di mesjid, sebelum dimakamkan di tempat pemakaman warga, tidak jauh dari rumah korban. Suasana malam itu semakin mencekam saat keluarga korban terlihat menangis. Saat sejumlah warga menggali tiga kuburan untuk 3 jenazah korban, kami berbincang dengan Kepala Desa Pakuwon Asep Roohiyat. Lama kami berbincang seputar kasus kematian para pekerja tersebut. Tak terasa, hari sudah berganti. Senin (4/8), sekitar pukul 01.00 WIB, tiga jenazah dikuburkan dengan posisi berdampingan.
Berbekal petromak dan lampu neon, satu persatu jenazah dimasukkan ke liang lahat. Udara semakin dingin. Gema takbir dan tahlil langsung berkumandang memecahkan keheningan. Aku yang hanya memakai selembar jaket tipis terus menggigil. Untuk mengusir rasa dingin yang terus menusuk hingga pori-pori, sebatang rokok kuisap dalam-dalam. Setengah jam berlalu, kami akhirnya memutuskan pulang kembali ke ruang humas. Tasdik yang menaiki motor Mio kembali berada di depan rombongan. Ia mengaku tidak bisa mengemudikan motor dengan cepat dalam kondisi jalan menurun. Atas permintaan Ibu Niknik, motor yang aku kemudikan berboncengan dengan Kemal berada posisi paling belakang. Meski berjalan beriringan, menyusuri jalan gelap di perkampungan di posisi paling belakang cukup membuat bulu kuduk berdiri. Beberapa kali Kemal menengok ke belakang dan melihat jalan yang kami lalui sangat gelap. Terbayang kembali prosesi pemakaman tiga korban di tengah malam gulita dan cuaca dingin. “Mang, buru, poek (gelap),” ujar Kemal. Kami kembali melintasi jalan yang sama. Sesekali aku memacu motor agar berada di posisi depan. Namun teman-teman juga berpikiran sama dan enggan berada di posisi belakang. Tasdik pamit pulang. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Ah, hidup dan mati memang di tangan Tuhan. Lagi-lagi aku ingat sebuah lirik lagu Iwan Abdurrahman tentang kematian.
“Detik-detik berlalu dalam hidup ini. Perlahan tapi pasti menuju mati. Kerap datang rasa takut menyusup di hati. Takut hidup ini terisi oleh sia-sia. Pada hening dan sepi aku bertanya. Dengan apa kuisi detikku ini. Tuhan kemana kami setelah ini. Adakah engkau dengar doaku ini.
0 komentar:
Posting Komentar