Kata “maaf” adalah ucapan sederhana, tetapi sarat makna. Di masyarakat, maaf bisa memulihkan hubungan, meredakan konflik, dan membuka jalan menuju rekonsiliasi. Namun, di tangan para pejabat, kata maaf seringkali terasa ringan, terburu-buru, bahkan seolah menjadi tameng untuk menutup kontroversi.
Kasus terbaru datang dari Purbaya Yudhi, menteri yang baru saja dilantik. Belum genap menghangatkan kursinya, ia sudah menuai sorotan setelah mengeluarkan pernyataan kontroversial. “Isu 17 + 8 itu hanya tuntutan segelintir orang, tidak mewakili kebutuhan mayoritas masyarakat.”
Kalimat ini langsung dianggap mengecilkan aspirasi publik dan meremehkan suara warga yang selama ini bersusah payah memperjuangkan haknya. Purbaya memang cepat meminta maaf. Tetapi pertanyaan yang menggantung adalah: apakah maaf itu tulus, atau sekadar formalitas politik untuk meredakan badai sesaat?
Fenomena ini bukan barang baru. Sejak lama, publik sering disuguhi parade maaf dari pejabat—dari salah ucap, salah sikap, salah kebijakan, hingga salah langkah. Polanya mirip: ucapan kontroversial meluncur, publik marah, media sosial gaduh, lalu berakhir dengan kalimat “saya minta maaf.” Setelah itu, keadaan kembali seperti semula, tanpa ada koreksi mendasar terhadap pola pikir maupun tindakan.
Kita tidak bermaksud menolak permintaan maaf. Justru sebaliknya, maaf yang tulus adalah tanda kedewasaan seorang pejabat publik. Namun, jika maaf hanya dijadikan semacam rem darurat setiap kali terjadi blunder, maka maknanya akan kian tereduksi. Lama-lama, publik bisa lelah dan apatis, menganggap maaf pejabat tak lebih dari sekadar basa-basi diplomatis.
Yang dibutuhkan sekarang bukanlah maaf yang murah, melainkan tanggung jawab nyata. Pejabat yang salah bicara semestinya tidak berhenti pada permintaan maaf, tetapi memperbaiki komunikasi publiknya. Pejabat yang salah langkah kebijakan semestinya tidak cukup dengan menundukkan kepala, tetapi menyiapkan langkah korektif yang transparan.
Purbaya Yudhi boleh jadi sedang belajar menghadapi sorotan publik di awal masa jabatannya. Namun, pelajaran penting yang seharusnya dipetik oleh semua pejabat adalah: kata maaf hanyalah pintu masuk. Setelah itu, yang dinanti publik adalah tindakan nyata—kepekaan, koreksi, dan keberanian mengubah arah.
Pada akhirnya, rakyat tidak membutuhkan pejabat yang fasih berkata “maaf,” melainkan pejabat yang bijak dalam bersikap, berhati-hati dalam bertutur, dan bertanggung jawab dalam bertindak. *
0 komentar:
Posting Komentar