Jalan Rancabolang tampak letih sore itu. Entah berapa bulan lamanya, kendaraan proyek mulai kembali hilir mudik melintasi jalan yang menghubungkan Kompleks Margahayu Raya dengan kawasan Ciwastra itu. Permukaan jalan yang awalnya mulus mulai kusam dan bergelombang. Debu-debu pun beterbangan liar mencari korban para pengemudi motor dan pejalan kaki. Sesekali tenang, lantas liar lagi mengikuti irama angin. Sore yang kering, matahari mulai redup. Malam sudah bersiap melahapnya.
Proyek pembangunan perumahan di kawasan Rancabolang memang tak pernah habis. Hamparan sawah yang awalnya terlihat di kiri kanan jalan, kini berubah jadi tanah lapang. Ruang terbuka hijau di Jalan Rancabolang nyaris musnah. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan tanah kering yang siap ditumbuhi rumah-rumah mewah.
Menjelang magrib, deru mesin bechoe terdengar keras diiringi teriakan para kuli bangunan. Alat berat itu sibuk menutupi lahan sawah dengan tanah hitam untuk dijadikan fondasi rumah. Gemuruhnya terasa hingga ke tengah jalan. Sejenak mesin itu berhenti bekerja dan suasana pun hening. Lantas, beberapa saat kemudian, kembali menyala, menuntaskan pekerjaan hari itu.
Seperti biasa, setiap sore begini, saya selalu membawa si kecil Gisavo ke Jalan Rancabolang sekadar menyaksikan fenomena senja. Lokasi favorit kami berdua adalah sebuah hamparan sawah tidak jauh dari depan Kompleks Perumahan Bumi Persada. Dari situ, matahari terbenam biasanya terlihat jelas. Perubahan warna langit pun begitu kentara. Kami biasanya berdiri di pinggir sawah tanpa mengucap sepatah kata pun. Tatapan kami hanya tertuju pada kaki langit.
Toh keinginan kami melihat senja kandas. Hamparan sawah favorit kami sudah dipenuhi gundukan tanah. Selain itu, sebuah mesin bechoe berdiri kokoh menghalangi pemandangan langit sebelah barat. Gisavo terdiam di pinggir jalan. Tatapan matanya tak fokus. Matanya liar mencari matahari, sekaligus cara kerja bechoe. Selain itu, pikirannya juga seperti berkelana mencari tahu ke mana hamparan sawah yang dulu menjadi tempatnya bermain.
Setahun lalu lokasi proyek itu merupakan hamparan sawah luas. Di sanalah awal mula Gisavo mengenali senja, sebuah fenomena alam yang sangat saya kagumi. Setahun lalu, hampir setiap hari kami mendatangi tempat itu. Menyaksikan proses perubahan warna langit yang semula biru muda menjadi agak kemerah-merahan. Awalnya Gisavo bingung dan bosan. Namun lama-lama senja mulai merasuki jiwanya.
Kini, di hamparan sawah itu ia tak lagi melihat senja. Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dari mulut kecilnya. Ia ingin mencari kejelasan atas kebingungan yang menghinggapinya sore itu. Kebingungan tentang proyek, hilangnya senja, dan bergantinya sawah menjadi tanah hitam. Saya menjelaskan satu per satu semua pertanyaannya. Meski saya tahu, semua pertanyaan yang diajukannya mengarah pada satu jawaban. Ya,sawah dan senja tak terlihat lagi karena proyek perumahan.
Gisavo mengangguk, seolah mengerti penjelasan saya. Ia masih saja menatap langit sebelah barat. Bechoe di hadapannya berhenti meraung. Kuli bangunan bersiap pulang. Hari semakin sore. Tiba-tiba langit berubah kelam. Sebentar lagi malam. Saya menggenggam tangan Gisavo, mengajaknya pulang. “Sudah, di sini tak ada lagi senja,” saya berucap sambil menariknya menjauhi tanah hitam.
0 komentar:
Posting Komentar