Lima jari tangan kiri Gisavo tampak menggenggam leher biola kecil yang terbuat dari kayu mapel. Bocah laki-laki berusia enam tahun itu kemudian meletakkan badan biola yang menyerupai sebuah jam pasir di atas bahu kirinya. Sejurus kemudian, dagu mungilnya ditekankan pada penyangga di bagian kiri atas badan biola. Alat musik gesek itu pun diapitnya dengan dagu dan pundak kiri.
“Pak, Gisa mau main biola ya,” kata Gisa, nama kecil bocah itu, kepada ayahnya yang baru saja pulang. Dua bola matanya tampak berbinar-binar. Sepertinya ia sangat ingin memperlihatkan hobi barunya itu.
“Boleh, nanti bapak dengerin ya. Sok, Gisa mau main lagu apa?” sang ayah duduk persis di depan anaknya. Ia urung memasuki kamar, mengganti bajunya yang kumal setelah seharian diterpa angin kering.
“Sebentar ya pak,” kata Gisavo.
“Siap!” jawab sang Ayah.
Tak lama berselang, tangan kanan Gisavo mengambil busur biola, sebuah alat gesek yang terbuat dari batang kayu pernambuco dan helai-helai rambut kuda putih. Didekatkannya busur biola itu pada salah satu senar yang merentang kencang di leher biola. Lalu, digeseknya perlahan-lahan hingga mengeluarkan bunyi . Tanpa melepas gesekan busur biola pada senar, ia menjelaskan nada apa yang dimainkan.
“Yang tadi itu kunci G Pak,” kata Gisa. Sang Ayah mengangguk. Bocah yang saat ini duduk di kelas 1 SD itu melanjutkan aksinya. Ia menggesekkan lagi busur biola pada senar lainnya. Kali ini bunyinya terdengar lebih tinggi.
“Itu kunci apa?” tanya sang Ayah.
“Itu E pak,” jawab Gisavo mantap. Sang ayah kembali mengangguk. Tak ada maksud mengetes kepiawaian anaknya mengenal kunci dan nada. Ia benar-benar tidak tahu nada yang dimainkan anaknya itu. Meski cukup mahir bermain gitar, untuk persoalan nada dan kunci, ia sama sekali buta.
Gisavo kemudian menggesek dua senar berikutnya. Empat senar biola yang konon awalnya terbuat dari usus domba dicampur logam itu habis digesek satu per satu. Ia kemudian terdiam.
“Udah pak,” kata Gisa.
“Jangan dulu, bapak mau denger Gisa main satu lagu,” bujuk sang ayah.
“Satu lagu ya pak? Boleh,” bocah itu menjawab tantangan ayahnya.
Empat jari kecilnya kemudian menari-nari di atas senar biola. Tak jelas lagu apa yang dimainkan. Nada yang keluar dari biola itu pun terdengar sumbang. Sang ayah tersenyum. Meski musik yang dimainkan anaknya tak beraturan, ia tetap bertepuk. Bocah itu pun menyudahi penampilannya. Sang ayah lantas memeluknya erat-erat.
“Wah, Gisa hebat, udah bisa mainin satu lagu pake biola,” puji sang Ayah. Gisavo melepas pelukan ayahnya.
“Pak, Gisa boleh main dulu?” pintanya. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. “Jangan lama-lama ya. Nanti kalau jarum panjang sudah ke angka 6, Gisa tidur,” jawab sang Ayah. Gisa mengangguk. Ia memasuki kamar dan menumpahkan seluruh mainannya.
Sejak usia 4 tahun, Gisavo memang sudah menyukai biola. Setiap kali mendengar suara biola yang dimainkan dengan tempo lambat, ia terdiam menikmatinya. Tak heran, saat mengikuti les nyanyi di salah satu sekolah musik terkenal di Bandung, bocah kelahiran Agustus 2004 itu kerap memperhatikan orang-orang yang memegang biola, atau memainkannya. Melihat kuatnya keinginan dia bermain biola, sang kakek berinisiatif membelikan sebuah biola ukuran sedang.
Di sela-sela les nyanyi setiap Sabtu siang, Gisavo berlatih biola. Meski tangan kirinya belum bisa menjangkau hingga gulungan kepala biola, ia tetap tekun berlatih. Semua pelajaran biola yang diajarkan gurunya dilahap habis. Hampir setiap malam, ia berlatih menggesek biola di rumah bersama ibunya. Namun setelah beberapa kali latihan menggesek, ia harus mulai berlatih memainkan jari. Karena biola yang dipakainya berlatih masih terlalu besar, ibunya membelikan lagi Gisavo sebuah biola ukuran kecil.
Tanpa mengganti baju yang dikenakannya sejak pagi, sang ayah masih duduk memperhatikan Gisavo bermain mobil hotwheels. Pikirannya menerawang, membayangkan anak satu-satunya itu beranjak dewasa, dan tampil memainkan biola di sebuah konser akbar. Betapa tampannya dia mengenakan jas, dasi, dan memegang biola klasik, disaksikan ribuan penggemar.
"Ah, tak perlu sepiawai Idris Sardi, Yehudi Menuhin, Itzhak Perlman, atau Vanessa Mae, apalagi komposer macam Johann Sebastian Bach atau Wolfgang Amadeus Mozart. Cukuplah menjadi Gisavo yang bisa membuat orang tuanya bangga," pikirnya.
Tak terasa, jarum panjang jam di dinding menunjukkan angka 6. Sudah pukul 21.30 WIB rupanya. Gisavo harus tidur.
“Gisa, udah setengah sepuluh. Lihat coba jarum panjangnya!” teriak sang Ayah.
“Iya pak, sebentar lagi,” sahut Gisavo.
“Nanti mamah bikinin susu, Gisa langsung minum ya. Setelah itu, sikat gigi, terus tidur,” ibunya menimpali.
Lebih dari 10 menit waktu yang dijanjikan, bocah itu kemudian tidur ditemani ibunya. Besok pagi, dia harus sekolah. Sang ayah melanjutkan aktivitasnya, cuci muka, ganti baju, menyeduh kopi, mengisap rokok, lantas memainkan HP hingga larut malam. Tugas berat menantinya beberapa tahun ke depan. Menyediakan kebutuhan anaknya yang semakin tumbuh dewasa.
0 komentar:
Posting Komentar