Temanku yang segumpal awan....
Ingin kuceritakan padamu tentang sebuah beranda yang nyaman, indah, sejuk, dan menenangkan hati. Sebuah tempat yang bertahun-tahun tak pernah bisa aku tinggalkan meski kau sempat berusaha memintaku pergi.
Di beranda itu aku seolah menjelma menjadi patung, berdiri tegak menatap batas cakrawala, saat senja menampakkan wajahnya. Ah, aku sangat menyukai momen itu. Matahari mulai berubah kekuningan tetapi tidak menyilaukan. Ia terlihat begitu lembut dan pantas disentuh.
Aku seperti tak bisa melangkah setiap hendak meninggalkan beranda itu. Waktu seolah berhenti ketika aku ada di dalamnya. Setiap sudut ruang beratap tak berdinding itu bagiku sebuah keindahan. Di sana aku menyimpan rindu. Tentang dia, aku, dan tentang dua mata yang bercerita. Aku rindu dua bola mata itu pada senja-senja berikutnya.
Pada titik sepi saat ini, aku mulai kesulitan menerjemahkan senja di beranda itu. Aku bahkan tak tahu lagi di mana arah senja. Meski ada di beranda itu, aku seperti berada di padang luas tanpa tanda atau isyarat jejak. Senja yang sudah menarikku pada pusaran tak berujung, kini begitu cepat hilang bersama malam.
Entahlah. Pada hari-hari berikutnya aku tak pernah lagi bisa melihat senja yang sempurna dari beranda itu. Aku pun tak mampu lagi menafsirkan keberadaan beranda itu, tergeragap di tengah kebingungan demi kebingungan merumuskan diri sendiri. Barangkali kau benar. Aku bahkan tak pernah bisa menentukan akhir cerita.
02 Desember 2010
Beranda Senja
Label: catatan
0 komentar:
Posting Komentar