Hari yang dinantikan itu datang juga. Akhir pekan lalu atau Sabtu (22/11), Gisavo anakku, mengikuti kegiatan outbond bersama seluruh anak-anak TK Islam Al Muhajir, tempat dia sekolah sejak bulan Juli lalu. Tidak tanggung-tanggung, lokasi outbond yang dipilih oleh para pengajar di TK tersebut cukup jauh dan masih terbilang asri. Namanya Natural Hill. Lokasinya, di Km 7 Jalan Kolonel Masturi (Kolmas) Lembang, tidak jauh dari Rumah Sakit Jiwa Cisarua. Sebuah lokasi outbond yang masih dikelilingi jurang, sawah, serta peternakan. Betul-betul pengalaman menarik! Di sana, anak-anak TK mendapat pelajaran berharga mulai dari bagaimana menghargai alam, mempertahankan diri, sampai tes keberanian ala pasukan kopassus. Aku ikut menyaksikan kegiatan tersebut bersama istri dari awal sampai akhir. Beberapa kali, kami menghela napas melihat materi yang diberikan para pemandu outbond karena cukup membahayakan dan melelahkan bagi anak-anak seusia Gisavo.
Seminggu sebelum kegiatan berlangsung, istriku berkali-kali mengingatkan agar aku menemaninya mengantar Gisavo mengikuti kegiatan tersebut. Aku pun menyanggupinya karena kebetulan hari Sabtu adalah jatah liburku. Maka sehari sebelumnya, aku sudah mengontak bapak di rumah untuk meminjam mobil agar bisa pergi ke lokasi outbond tanpa khawatir kehujanan atau kepanasan. Pada hari H kegiatan, aku dan istri memutuskan pergi menaiki mobil ke lokasi outbond, sementara Gisavo menumpang bus yang disediakan pihak TK. Dia ngotot ingin menaiki bus karena penasaran seperti apa rasanya duduk di sebuah mobil besar. “Gisavo mau naik bus ya pak,” katanya. Aku dan istri tersenyum. Sebelum berpisah, kami mencium kening Gisavo. Ia tampak bahagia. “Pak, busnya ada TV-nya!!” teriak Gisavo sebelum rombongan pergi. Bus yang berangkat ke lokasi outbond berjumlah empat unit. Dua bus diisi oleh anak-anak TK, sementara dua bus lainnya diisi oleh orangtua siswa yang tidak membawa kendaraan. Rombongan berangkat dari TK Al Muhajir sekitar pukul 08.00 WIB. Setelah sempat mengikuti bus dari belakang, aku memutuskan tiba di lokasi outbond terlebih dahulu agar bisa mengambil foto dan merekam kedatangan anak-anak TK.
Rombongan bus tiba sekitar pukul 09.00 WIB. Anakku menaiki bus nomor 1 dan tiba paling awal. Bersama seluruh teman-temannya ia turun dari bus. Wajahnya tampak kebingungan. Aku tersenyum melihat mimik wajahnya. Baru setelah kupanggil, dia menoleh dan menghampiriku. “Kenapa Gi?” tanyaku. “Bingung Pak,” jawabnya singkat. Hahaha, mungkin karena baru kali pertama naik bus, begitu turun, anakku langsung limbung. “Ya udah, gak usah bingung, sekarang ikut sama temen-temen lain dan jangan jauh-jauh dari bu guru,” jawabku. Ia mengangguk dan mulai bergabung dengan teman-teman sekelasnya, membuat sebuah barisan. Kalau tidak salah hitung, seluruh anak-anak TK dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang pemandu dari Natural Hill, di samping tentu saja dua orang guru TK Al Muhajir. Setiap kelompok, terdiri dari sekitar 10 anak-anak TK. Aku tak hapal seluruh teman satu kelompok Gisavo. Hanya beberapa saja yang kukenal karena cukup dekat dan sering bermain dengan anakku seperti Gifar, Ginggi, Fauzan, dan Noval.
Lokasi awal yang didatangi oleh kelompok Gisavo adalah sebuah kebun. Di sana, anak-anak diajarkan bagaimana membuat lubang di atas lahan kebun untuk diisi dengan sebuah biji jagung. Macam-macam gaya anak-anak saat membuat lubang. Gisavo tampak canggung. Beberapa kali ia berusaha membersihkan kedua tangannya dari tanah basah. “Ga apa-apa Gi. Sekarang boleh kotor-kotoran. Kalau di rumah ga boleh,” teriakku. Tetap saja, ia sangat berhati-hati ketika diminta guru menutup lubang yang sudah ditanami biji jagung. “Bu guru!! Udah!!” teriaknya sambil membersihkan kedua telapak tangannya ke baju teman sebelah. Setelah materi pertama yaitu menanam biji jagung selesai, pemandu kelompok membawa rombongan ke lokasi lain. Di sana, ada tiga buah jembatan. Masing-masing jembatan, memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Jembatan pertama hanya terdiri dari seutas tambang untuk pijakan kaki dan dua tambang untuk pegangan tangan. Jembatan kedua terdiri dari dua tambang untuk pegangan tangan dan beberapa balok yang terpasang berjarak untuk pijakan kaki. Jembatan terakhir hanya berupa seutas tambang untuk pijakan dan pegangan tangan.
Aku sempat berpikir, sepertinya Gisavo tidak sanggup melalui tiga jembatan itu dengan sempurna. Namun kenyataannya tidak. Ia tampak menikmati materi kedua tersebut. Seluruh rintangan dilaluinya dengan tawa dan canda. Bahkan, pada jembatan ketiga, dia bergeming di atas seutas tambang dengan dua tangan memegang seutas tambang lainnya. Rupanya, materi ini merupakan pelajaran menjaga keseimbangan. Pemandu pun dengan santainya menggoyang-goyangkan tambang sehingga anak-anak yang tak kuat menahan keseimbangan akan terjatuh. “Ayo, jangan sampai jatuh. Di bawah ada buaya!!!” teriak pemandu. Tak urung, teriakan pemandu itu membuat anak-anak kembali menaiki tambang dan berusaha sekuat tenaga mempertahankan keseimbangan agar tidak jatuh. “Bapak!! Mamah!! Di bawah ada buaya! Gisa gak boleh jatuh,” anakku berteriak sambil terus berpegangan pada seutas tambang.
Materi ketiga mengingatkanku pada Sungai Citarum. Sama dengan apa yang pernah aku alami di Sungai Citarum, anak-anak disuruh menyeberangi sungai dengan rakit yang terbuat dari beberapa bambu. Di atas rakit, melintas sebuah tambang. Agar bisa sampai ke seberang, anak-anak harus menarik tambang tersebut sehingga rakit akan melaju mengikuti alur tambang. Aku jadi teringat saat ditugaskan meliput rencana jalur alternatif dari Soreang menuju Bandung. Saat itu, bersama seorang kawan, aku menaiki rakit menyeberangi Sungai Citarum. Motor juga ikut disimpan di atas rakit. Si pemilik rakit kemudian menarik sebuah tambang di atasnya dan rakit yang kami tumpangi melaju ke seberang sungai. Ah, masa lalu yang menyenangkan. Di atas rakit, Gisavo duduk di depan. Tiga teman lainnya duduk di belakang. Dengan santai, mereka kemudian menarik seutas tambang sehingga rakit sampai ke seberang. Mereka melakukannya bolak-balik sampai rakit kembali ke posisi semula. Hahaha, lucu melihat tingkah mereka menarik rakit.
Inilah materi keempat yang disukai anakku. Apalagi kalau bukan flying fox. Ya, anakku betul-betul menyukai kegiatan yang cukup memacu adrenalin ini. Beberapa kali setiap bermain ke kebun binatang Bandung, dia kerap menaiki arena permainan tersebut. Bedanya, jika di kebun binatang flying fox yang ada tidak terlalu tinggi, sementara di lokasi outbond lokasi flying fox cukup tinggi. Agar cepat selesai, setiap anak menaiki flying fox berpasang-pasangan. Gisavo kebagian berpasangan dengan Gifar yang badannya lebih tinggi dan lebih besar. Karena badannya yang tinggi, dalam setiap kegiatan kesenian TK, Gifar kerap menjadi pembawa sisingaan. Gisavo dan Gifar sukses menaiki flying fox. “Pak, Gisa mau lagi naik flying fox,” kata dia. “Eh, jangan sekarang. Kalau sekarang, Gisa harus ikut kata Bu Guru dan kakak pemandu,” kataku diiyakan istri. Usai mengikuti permainan flyng fox, rombongan anakku kemudian berpindah ke lokasi permainan kelima. Aku tak ingat nama permainan itu. Namun, dalam permainan itu, anak-anak kembali harus melalui tiga rintangan, kali ini mirip latihan pasukan kopassus. Rintangan pertama adalah meniti sebuah balok yang dipasang berdiri dengan jarak yang berjauhan satu sama lain. Setelah itu, mereka disuruh memanjat dan menuruni sebuah balok yang dipasang bertingkat. Terakhir, anak-anak disuruh merayap di atas tanah menghindari rintangan di atasnya. Lagi-lagi anakku sukses melewati ketiga rintangan itu, meski rintangan pertama harus dibantu oleh Ibu guru.
Usai merayap, anak-anak TK kemudian masuk ke dalam sebuah labirin yang terdiri dari semak-semak. Mereka harus menemukan jalan keluar. Setelah keluar dari labirin, mereka juga dihadapkan pada rintangan lain yaitu sebuah tambang kecil yang dianyam persis jaring laba-laba. Beberapa kali anakku terjatuh karena terjerat tali yang membentuk jaring laba-laba itu. Namun, ia sukses melaluinya. Sebelum sampai pada materi terakhir, rombongan beristirahat. Materi terakhir rupanya sangat dinantikan oleh anakku. Anak-anak disuruh masuk ke kolam ikan, dan mencari ikan sebanyak-banyaknya. Dengan senang hati, Gisavo terjun ke kolam. Namun, bukannya mencari ikan, bersama teman-teman lainnya, ia sibuk bermain air. Aku berteriak-teriak agar dia tidak melupakan tugasnya menangkap ikan. Ingin rasanya ikut masuk ke kolam dan ikut menangkap ikan. Tapi, keinginan itu tak diwujudkan. Bukan karena malu, tapi karena aku tidak membawa baju dan celana ganti. Selama hampir satu jam, anak-anak berada di kolam ikan. Akhirnya, dibantu Mang Utis, salah seorang petugas di TK Al Muhajir, aku berhasil menangkap satu ikan. Begitu ikan tertangkap, aku lantas meminta anakku naik dan membersihkan diri. “Kalau ikannya belum ketangkep, anakku pasti tidak mau beranjak dari kolam,” pikirku. Di bawah pancuran yang dingin, anakku mandi. Aku dan istri membantunya membersihkan badan. Tubuh anakku menggigil kedinginan. “Brrrrr, dingin pak,” ujar Gisavo.
Selesai sudah kegiatan outbond yang mirip sebuah pesta bagi anak-anak TK itu. Setelah menyantap makan siang bersama rombongan, kami pulang. Tidak seperti saat awal berangkat, kali ini Gisavo tidak ikut rombongan bus, tetapi ikut menaiki mobil. Baru saja mobil melaju dari lokasi outbond, suara anakku tak terdengar. Ia tertidur pulas dengan kepala menempel di pintu mobil. Akhirnya, istriku membetulkan posisi tidur Gisavo. Dalam keadaan tertidur, Gisavo tampak tersenyum. Sepertinya ia masih menikmati saat-saat indah di lokasi outbond. Hmm, betul-betul hari yang melelahkan dan menyenangkan buat anakku.
26 November 2008
Senangnya Melihat Anakku Ikut Outbond
Label: keluarga
0 komentar:
Posting Komentar