Ada tugas baru dari asisten redaktur (asred) selama bulan Ramadan ini. Aku wajib mencari masjid unik atau memiliki sejarah khusus di wilayah liputan. Selama itu pula, dari awal Ramadan, selain mendapat instruksi langsung dari asred, aku berburu masjid-masjid di wilayah Kabupaten Garut. Sesekali aku mengajak Inul, teman wartawan dari Galamedia, berdiskusi mengenai masjid yang layak diliput dan diekspos di media tempatku bekerja. Beberapa masjid memang sudah masuk list perburuan. Di antaranya Masjid Syekh Jafar Shidik di Kecamatan Cibiuk, Masjid Cipari di Kecamatan Pangatikan, Masjid Harun Arrasyid di Kecamatan Cikajang, dan Masjid Agung Garut. Dari seluruh list masjid yang rencananya aku buru, baru dua yang berhasil diliput. Satu masjid yaitu Masjid Cikajang bahkan diliput tidak sengaja pada Jumat (12/9) lalu, saat aku bersama sejumlah wartawan bermaksud pergi ke Gunung Papandayan untuk melihat aktivitas penambangan belerang liar.
Informasi mengenai suasana di kawasan Gunung Papandayan yang mencekam menyusul penangkapan para penambang liar rupanya membawaku sampai ke Masjid Harun Arrasyid di Kampung Giriwaras, Desa Cibodas, Kecamatan Cikajang, Jumat (12/9) lalu. Saat itu, aku, Dedi Radar Garut, Abah Antv, Ibu Niknik (SCTV), Boi TPI, dan Kemal Tribun Jabar, mengalihkan liputan dari Gunung Papandayan menuju Kecamatan Cikajang, karena informasi mengenai perlawanan warga di Gunung Papandayan Kecamatan Cisurupan, meleset. Kami bersama-sama menaiki mobil sedan milik Dedi. “Mendingan urang teruskeun ka Masjid Cikajang. Kagok udah sampai sini,” kata Dedi, begitu sampai di Polsek Cisurupan. Kami pun menyetujuinya. Selain sudah urunan bensin Rp10 ribu perorang (aku terpaksa pinjam dulu dari Kemal uang urunan), jarak dari Kecamatan Cisurupan menuju Cikajang sudah dekat. Akhirnya, selang 30 menit dari Polsek Cisurupan, kami tiba di Masjid Harun Arrasyid yang cukup megah.
Seperti biasa setiap kali liputan ke wilayah baru, kami selalu menyempatkan diri berfoto. Setelah itu, baru mengambil beberapa foto masjid dari berbagai sudut untuk menuntaskan tugas liputan. Selang beberapa menit kemudian, rombongan wartawan lain menyusul menaiki mobil Kijang Kabag Humas Dikdik Hendrajaya. Mereka masing-masing Irwan Kuir RRI, Indra Trans TV, dan Aep Priangan. Kami pun bergabung dan bersama-sama menelisik seluruh sudut masjid. “Wah, sejuk sekali ya di sini,” kata Irwan. “Saya mah hayang ngaletakan kubah kecil yang jadi gerbang masjid,” kata Aep sambil menunjuk kubah-kubah kecil di pintu gerbang masjid yang berwarna-warni mirip sebuah permen. “Gin, foto urang euy!” teriak Kemal. Kami akhirnya larut dalam kesibukan masing-masing dan mencoba menyamankan diri di masjid tersebut. Data-data sama sekali belum diperoleh sementara waktu terus mengalir hingga menunjukkan pukul 14.30 WIB. Beruntung, belum sempat kami berangkat mencari narasumber, sebuah mobil melintas di komplek masjid, dan mendatangi kami. Seorang lelaki setengah baya turun dari mobil dan menanyai kami. Akhirnya, Abah Janur memulai pembicaraan. Ia menjelaskan maksud kedatangan kami ke masjid tersebut yaitu untuk melakukan liputan.
“Kami datang mau meliput kegiatan di masjid ini pak,” kata Abah. Lelaki yang belakangan diketahui bernama Uban Subarna, pemilik masjid, tampak enggan memberi keterangan. “Saya tidak mau masjid ini diekspose. Selain belum selesai, saya juga takut disangka riya (sombong),” kata Uban. Namun, bukan Abah namanya kalau gagal membujuk narasumber. Sambil sedikit membual, Abah menjelaskan kalau peliputan ini ini akan membuat masjid semakin banyak didatangi orang yang akan beribadah. Uban luluh. Ia akhirnya mau diwawancarai wartawan, meski keterangan yang disampaikannya sangat minim. Aku dan Dedi sempat tersenyum saat dia menceritakan proses pembangunan mesjid dan biaya yang dikeluarkan. Pasalnya, penjelasan Uban bertolak belakang dengan alasan penolakannya memberi keterangan karena khawatir disebut riya. “Total biaya yang dikeluarkan mencapai Rp14 miliar,” kata Uban enteng. “Saya juga sengaja membuat jalur kendaraan berbentuk huruf U, sesuai dengan huruf awal nama saya,” katanya lagi.
Areal masjid tersebut memang tergolong luas hingga mencapai 6 hektare. Kapasitas masjid, mampu menampung hingga 500 jamaah. “Awalnya, saya memang ingin membangun sebuah masjid di Kecamatan Cikajang, karena saya asli orang Cikajang. Ide ini sudah tercetus sejak 10 tahun yang lalu, dan pembangunannya baru terlaksana pada 9 September 2007 lalu. Pembangunan mesjid ini murni dana pribadi dan sumbangan-sumbangan masyarakat lain,” terang Uban. Lokasi masjid yang berada di dekat Gunung Cikuray membuat udara di sekitar masjid terasa sejuk. Sebuah kolam ikan yang berada di pinggir masjid menambah sejuknya suasana masjid. Di pinggir Masjid Harun Arrasyid, berdiri sebuah beduk berdiameter 1,8 meter dan kohkol setinggi sekitar 3 meter. Menurut Uban, kohkol tersebut berusia ratusan tahun peninggalan almarhum kakeknya.“Kohkol ini berasal dari pohon nangka warisan almarhum kakek saya. Usia pohon sudah ratusan tahun. Sengaja saya pasang beduk dan kohkol besar ini karena dari dulu saya ingin membangun masjid yang memiliki beduk besar. Sebab, masjid zaman dulu selalu ditandai dengan keberadaan kohkol dan beduk besar. Kan dulu belum ada sound system, jadi pake beduk besar,” katanya.
Meski data yang diperoleh minim karena Uban pamit hendak pergi ke Garut Kota, kami tetap puas. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Kami pun memutuskan kembali ke base camp. Sepanjang perjalanan, cerita Uban yang takut disebut riya menjadi topi pembahasan. “Lucu, takut disebut riya, tapi pas ditanya biaya masjid langsung menyebutkan angka Rp14 miliar,” celetuk Dedi sambil mengemudikan mobil sedannya. Di sebuah rumah makan Ciburial, kami berhenti. Tentu saja bukan hendak menyantap makan sore, tapi meliput sebuah area permainan sepeda air di dekat rumah makan tersebut. Indra, Abah, dan Ibu Niknik, sempat mencoba menaiki sepeda air. Sementara aku hanya menyaksikan mereka bermain sambil melihat sekumpulan ikan mas berebut mengambil makanan. “Mal, berita naon nya?” tanyaku. Kemal terdiam. “Ya, penangkapan penambang belerang. Terus feature masjid. Ku urang geus dilisting,” kata Kemal. “Oh iya. Itu aja ya?” jawabku. Puas bermain sambil mencari data seputar arena permainan sepeda air, kami kembali ke kawasan Garut Kota.
Di depan komputer, rasa malas menghantuiku hingga akhirnya aku enggan menuliskan liputan Masjid Harun Arrasyid. Kemal berseru. “Gin, nu masjid dibikin?” tanya dia. Aku menggeleng. “Wah, urang geus ngalisting!” serunya lagi. “Nanti saja mal, buat stok,” kataku lagi. Kemal pun akhirnya sama-sama tidak menulis hasil liputan masjid. Ia sedikit bergumam. “Wah, listing sama berita yang dikirim jadi beda!” selorohnya. Aku tersenyum sambil tetap mengetik.
17 September 2008
Berburu Masjid Saat Ramadan
Label: berita
0 komentar:
Posting Komentar