Bonsai kecilku gelisah. Sekitar 60 Km dari tempatku duduk dinihari tadi, perempuan mungil yang keras kepala itu mengungkapkan unek-uneknya lewat dunia maya. Lagi-lagi seputar tempat kerja yang ia umpamakan sebagai negeri kurawa. Ah, kegelisahan yang mungkin berkepanjangan dan cukup mengganggu pikirannya. Bahkan beban itu membuatnya harus terjatuh dari motor saat melaksanakan tugas negara. “Makanya, jangan melamun,” ujarku memberi saran usai dia menceritakan kejadian malam tadi. “Abisan, lagi kesel,” jawabnya berargumen. Ia lantas menceritakan kegelisahannya. “Gara-gara nulis di blog tentang kondisi kantor, aku jadi diserang sama orang yang sama,” keluhnya.
Hmmm, persoalan itu rupanya. Aku memang sudah membaca isi blognya yang diposting belum lama ini. Sebuah tulisan tentang seorang manusia bodoh yang hidup di negeri Kurawa. Bagiku, tak ada yang salah dengan tulisan itu. Semua begitu terbuka. Aku sendiri tergugah membaca kalimatnya yang mengalir tak terkendali karena ikut merasakan kegelisahannya.“Dia malu karena ternyata (blog) banyak yang baca. Malu karena aku membuka aib kantor sendiri. Dia juga merasa kalau aku melebih-lebihkan kondisi, lebih dari keadaan sebenarnya,” kalimat demi kalimat pun meluncur tak terkendali. Betul bonsai kecilku. Tidak semua prajurit mau menerima apa yang kita lakukan meski tujuannya demi kebaikan. Di mana-mana, perjuangan tak pernah berjalan mulus. “Kamu
Aku jadi ingat, kegelisahan yang sama juga pernah aku sampaikan pada seorang teman. Dia selalu menjawab dengan satu kata: sabar. Sampai saat ini, kata itulah yang membuat aku tetap bertahan dan menikmati tugas sebagai prajurit siap tempur. Hanya saja, setiap orang tentu punya paham berbeda dalam memaknai sebuah kesabaran. Batas kesabaranku mungkin belum habis, sementara prajurit lain belum tentu seperti itu, termasuk bonsai kecilku yang hobbynya makan burger. Aku yakin, tulisan di blog itu hanya sebagian kecil dari unek-unek yang dipendamnya selama 22 bulan mengabdi. “Sekarang, kamu merasa sendirian ya?” tanyaku. Dia menjawab singkat. “Iya…..!” tandasnya. Percakapan terhenti saat ia meminta izin menerima telepon. Sesaat aku berpikir kenapa ia harus merasa sendirian di tengah hiruk pikuknya prajurit yang ditarik ke markas besar sejak aku berjuang di luar markas? Kenapa pula isi tulisannya di blog harus menjadi persoalan? Kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi meski sebatas digoreskan lewat sebuah blog.
"Pokoknya mah, blog itu untuk free impresion, bukan good impresion," katanya sesaat setelah menerima telepon. Aku mengiyakan ucapannya. Tekanan kerja sebagai prajurit di negeri kurawa sudah sedemikian berat. Masak sih kita harus merasa tertekan saat menulis dalam blog. "Hehehehe, betul! Tidak ada redaktur dan asisten redaktur dalam blog," jawabku. "Hidup kebebasan!" tulisnya. Aku pun menimpali dengan huruf besar. "HIDUUUPPP!!" Waktu berlalu. Waah, sudah pukul 01.30 WIB. Bonsai kecilku pamit. "Aku pamit, besok mau liputan pagi," katanya. "Oke," jawabku singkat. Ah, semoga perbincangan ini bukan yang terakhir. Meminjam istilah seorang teman, diam tidak selamanya emas, tapi batu akan selamanya diam. Maka tetaplah berjuang bonsai kecilku, karena kamu tidak sendirian.
1 komentar:
apapun yang ada dalam hati, itu yang harus kita yakini, jangan pernah berpaling apalagi sampai menghianati apa yang telah hati kita yakini.
Posting Komentar