"Gisavo Lembayung Lelaki Akbar!" teriak seorang wanita berkerudung memanggil nama anakku dalam sebuah pertemuan di Mesjid Al Muhajir Komplek Margahayu Raya, Senin (14/7) pagi. Mendengar namanya dipanggil, anakku langsung mengangkat tangan kanannya dan mengacungkan jari telunjuk. "Wah, pinter yaaa," kata wanita itu lagi sambil tersenyum. Setelah memanggil nama anakku, wanita tadi kemudian memanggil nama anak-anak lain yang berkumpul di mesjid tersebut bersama para orangtuanya. Saat itu, mereka tengah menerima pembekalan dari pengurus Taman Kanak-kanak (TK) Al Muhajir, seputar kegiatan belajar mengajar di TK tersebut.
Ya, hari itu adalah saat pertama anakku masuk ke sekolah. Sejak lama ia memang sudah menyatakan keinginannya untuk menimba ilmu di TK Al Muhajir tidak jauh dari rumah mertua, meski usianya belum genap 4 tahun. Aku sempat ragu dengan keinginannya itu. Namun, semangat anakku meluluhkan keraguan itu. Dua hari sebelumnya bahkan dia terus-menerus menanyakan kapan waktu masuk sekolah. Sebuah ransel kecil bergambar Batman pemberian orangtuaku dipegangnya erat-erat. "Pak, Gisa mau sekolah," katanya dengan sorot mata kanak-kanaknya. Sorot mata yang mengingatkanku pada seseorang. "Ya, kan nanti hari Senin. Nanti bapak anter ya," kataku menjawab keinginannya.
Senin (14/7) pagi, hari yang dinantikan tiba. Tentu saja aku tidak mau melewatkan saat yang barangkali hanya akan datang satu kali seumur hidupku itu. Dengan menggendong ransel kecil di belakang dan membawa tempat bekal makanan di depan, anakku berjalan penuh semangat. Dia belum mengenakan seragam, tapi penampilannya tampak berbeda dari biasanya. Matanya menatap lurus ke depan. Tampaknya, bayangan tentang sekolah sudah betul-betul melekat di pikirannya. Sepanjang jalan menuju TK yang tidak jauh dari rumah mertuaku, Gisavo bernyanyi. "Slamat pagi pak, slamat pagi bu, slamat pagi semua," begitu dia bernyanyi dengan suara melengking. Hmmm, tidak percuma rasanya menghabiskan seluruh gajiku sebulan plus tambahan dari mertua sekadar menyekolahkan Gisavo ke TK jika melihat langkahnya yang pasti. Aku dan istri tersenyum melihat tingkah Gisavo yang lucu.
Begitu sampai di TK, pandangan anakku seolah tak mau lepas menyaksikan keadaan sekitar. Saat itu, banyak sekali anak-anak seusia dia yang berkumpul di halaman TK. Ada yang berlari-lari, ada yang menangis, ada pula yang bermanja-manja dengan orangtuanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Sebuah pengumuman yang disuarakan lewat pengeras suara terdengar. "Kepada orangtua dan anak-anak diharap berkumpul di Mesjid Al Muhajir," begitu isi pengumuman tersebut. Istriku membawa Gisavo masuk mesjid, berbaur dengan ibu-ibu dan anak-anak yang lain. Aku menunggu di luar karena saat itu, tak ada seorang pun pria yang ikut masuk ke mesjid. Aku sempat berbincang dengan seorang pria yang sama-sama sedang menunggu anaknya sekolah. Hanya saja, anaknya bukan termasuk siswa baru, melainkan pindahan dari TK lain. Kelasnya pun berbeda dengan kelas anakku karena usianya yang lebih tua.
"Nganter anaknya pak?" tanya pria tersebut. Kebetulan, ia tengah mengisap sebatang rokok. "Iya Kang. Eh, boleh minta apinya kang?" jawabku sekalian meminta api karena sedari tadi aku ingin merokok. Pria itu langsung menyodorkan rokoknya yang menyala. "Nganter juga ya kang?" aku balik bertanya. "Iya, tapi pindahan. Sekarang masuk 0 besar. Waktu 0 kecil di TK yang lama, gak diajarin agama. Salat juga gak mau," kata dia menceritakan alasan memindahkan anaknya. "Hehehehe, iya kang. Kalau saya ngerasa kurang sama pendidikan agama, makanya saya suruh anak saya sekolah di TK Islam,biar jadi anak soleh," aku menimpali ceritanya. "Iya ya pak," ujarnya sambil tersenyum. "Gimana kalau kita cari kopi," ajaknya. Aku mengiyakan ajakannya. Namun, sebelum mencari kopi, aku menyempatkan diri melihat pertemuan di mesjid. "Nanti nyusul kang," ujarku.
Di Mesjid Al Muhajir, pertemuan masih berlangsung. Huh, tampaknya ini sebuah pertemuan yang membosankan. Orangtua saja sudah terlihat ngantuk mendengar celoteh kepala sekolah TK Al Muhajir yang menceritakan kelebihan tempat belajarnya, apalagi anak-anak. Terbukti, kedua mata anakku sudah mulai meredup karena ngantuk. Posisi duduknya pun berubah dengan kedua kaki diselonjorkan ke depan tanda dia sudah tidak lagi menikmati pertemuan itu. Tiba-tiba, Gisavo bertanya. "Bu guru, kapan masuk kelasnya?" tanya dia meski dengan suara kecil. Mendengar pertanyaan anakku, perempuan berkerudung yang tengah berkoar-koar menceritakan kelebihan TK Al Muhajir kontan tersenyum. "Nanti ya, sebentar lagi anak-anak masuk kelas," jawabnya sambil melihat anakku yang duduk di jajaran kedua dari depan.
Satu jam berlalu. Pertemuan di Mesjid Al Muhajir selesai. Para orang tua membubarkan diri, sementara anak-anak memasuki kelas didampingi gurunya masing-masing, termasuk anakku. Pertemuan yang terlalu lama rupanya membuat konsentrasi anakku buyar saat berada di dalam kelas. Ia terlihat lebih banyak melamun ketimbang mendengarkan perkataan guru. Tampaknya, anakku mengalami dilema antara keinginan mengikuti pelajaran di kelas dengan rasa kantuk yang mulai menggelayutinya. "Siapa yang pernah ke Griya??" suara guru di kelas tersebut membuyarkan lamunan anakku. Mendengar pertanyaan itu, anakku langsung berteriak lantang bersama anak-anak lainnya. "Sayaaaaa!" teriaknya dengan suara melengking. "Hahahaha, kalau ditanya soal Griya, anakku langsung ingat dan menghentikan lamunannya," gumamku dalam hati.
Pemandangan di kelas sungguh menyenangkan. Aku sampai lupa ajakan menikmati kopi yang ditawarkan pria tadi. Sesaat, aku beranjak menuju kantin. Rupanya, dia sudah pergi. Aku pun kembali melihat Gisavo dalam kelas. Sayang, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB dan aku harus segera kembali ke Garut melanjutkan tugas. Setelah pamit, motor pun langsung kupacu ke arah Garut. Kabarnya, hari itu ada persidangan kasus dugaan korupsi dana bencana alam di Pengadilan Negeri (PN) Garut. Sepanjang jalan, bayangan anakku di dalam kelas terus membekas. Hidup ternyata begitu singkat. Seolah baru kemarin melihat anakku lahir, sekarang dia sudah masuk sekolah lagi. Hmmm, selamat memasuki dunia baru anakku. Ingat, jangan pernah bercita-cita menjadi wartawan.
16 Juli 2008
Dilema Anakku
Label: keluarga
0 komentar:
Posting Komentar