Lima hari sudah Gisavo anakku, mengisi sebagian harinya dengan mengikuti pelajaran di Taman Kanak-kanak (TK) Al Muhajir sejak Senin (14/7) lalu. Banyak cerita yang kuperoleh seputar kelakuannya di kelas, mulai menangis, berteriak memanggil ibunya, sampai tertawa menyaksikan temannya jatuh saat bermain. Hari keenam atau Sabtu (19/7) lalu, aku pun menyempatkan diri menemaninya sekolah karena kebetulan mendapat jatah libur dari kantor. Ajakan Abah Janur wartawan Anteve menginap di kawasan danau Cibeureum Kabupaten Garut sehari sebelumnya aku abaikan. Hanya satu keinginanku saat itu, pulang dan kembali mengantar Gisavo sekolah keesokan paginya.
Hari Sabtu (19/7) pukul 06.30 WIB, anakku sudah bangun. Ia kemudian menjalankan rutinitas sehari-hari dengan meminum segelas susu, mandi pagi, dan sarapan. Semua kegiatan itu selesai sekitar pukul 07.45 WIB sementara jam pelajaran sekolah dimulai pukul 08.00 WIB. "Ayo Gi, sebentar lagi masuk. Mau sekolah ngga?" tanyaku melihat tingkah Gisavo yang terlihat masih berleha-leha di kursi depan. "Iya pak, sebentar lagi. Bapak mau anter Gisa kan?" anakku menjawab sekaligus mengajukan pertanyaan. "Iya, sekarang bapak yang anter Gisa sekolah, makanya cepetan!!" aku berteriak. Teriakanku membuat Gisavo bangkit dan segera menyiapkan diri. Ransel bergambar batman langsung diambilnya. Sepasang sepatu kecilnya lantas dipakai dengan agak tergesa-gesa. “Pak, bantuin,” pintanya karena kesulitan memakai sepatu.
Berdua kami akhirnya melintasi ruas jalan di pinggir rumah mertuaku menuju TK Al Muhajir karena istriku berencana menyusul kemudian. Langkah anakku tampak pasti. Ranselnya yang kebetulan memiliki dua roda, ditariknya di belakang. Setelah lima menit kami berjalan menuju TK, anakku kemudian berbaur dengan teman-temannya bermain sebelum berbaris. Saat bermain, sesekali matanya melirik ke arahku, memastikan kalau aku masih bersamanya. Teng, teng, teng!!! Bel berbunyi pukul 08.00 WIB tepat, tanda anak-anak harus berbaris sesuai dengan kelasnya. Tiba-tiba, wajah anakku berubah. Ia tidak mau masuk barisan dan malah terus mendekatiku. “Pak, jangan pergi ya,” ujarnya sambil menahan tangis. Rupanya, anakku masih panik, khawatir ditinggal sendiri di sekolah. Kepercayaan dirinya belum tumbuh. “Bapak gak pergi, tapi gak ikut baris. Sekarang Gisa baris, harus nurut sama Ibu guru,” jawabku.
Lama anakku enggan masuk barisan sebelum akhirnya ikut berbaris setelah seorang guru membawanya. Anakku memang menuruti perintah guru dan berdiri di barisan belakang. Tapi matanya terus melihat ke arahku. Hari itu ternyata seluruh anak-anak TK mendapat pelajaran olahraga. Selama 15 menit anak-anak berolahraga, tak satu pun gerakan guru yang diikuti Gisavo. Akhirnya, seluruh anak-anak diminta memegang tangan teman di sebelahnya. “Sekarang kita jalan-jalan. Ayo, pegang tangan temannya,” teriak guru yang belakangan diketahui bernama Ibu Ira. Anakku memang menuruti peritah guru, tapi matanya lagi-lagi tak mau lepas melihatku. Sebelum berjalan, Gisavo sempat berlari ke arahku. “Bapak jangan ke mana-mana ya,” katanya. Aku mengangguk. Gisavo lantas kembali ke barisan, ditemani seorang guru bernama Ibu Tri.
Anak-anak rupanya dibawa mengelilingi sekolah. Aku tidak tahu seperti apa sikap Gisavo saat berkeliling karena hanya menunggu di halaman sekolah. Beberapa saat kemudian, mereka sudah kembali. Wajah anakku tidak terlihat panik. Ia kemudian menghampiriku sebelum waktu istirahat. “Bapak, tadi Gisa ngga nangis,” katanya menceritakan kegiatan tadi. Aku tersenyum. “Tadi dibawa keliling ke mana?” tanyaku. “Keliling sekolah pak,” jawabnya. Suara Ibu Ira memecahkan pertemuanku dengan Gisavo. “Ayo anak-anak, sekarang bermain. Gisa, mau main apa?” tanya Ibu Ira, sambil memanggil anakku. Anakku memilih bermain bola. “Pak Gisa main bola dulu yaa,” ujarnya sambil berlari menghampiri teman-temannya. Hahaha, lucu juga melihat anakku bermain bola. Di antara anak-anak yang bermain bola, tubuh Gisavo paling kecil. Beberapa kali ia terjatuh karena berbenturan dengan teman sekelasnya. Tapi, dia kembali bangun dan berlari mengejar bola. Sesekali Gisavo tertawa saat melihat temannya jatuh.
Teng, teng, teng!!! Bel tanda istirahat selesai berbunyi. Lagi-lagi wajah anakku berubah panik. Sebelum masuk, ia memintaku berdiri di dekat jendela. “Bapak nanti berdiri di dekat jendela,” pintanya. Aku tidak mengiyakan dan juga tidak menolaknya. Gisavo kemudian mengikuti guru dan mencuci tangan sebelum masuk kelas. “Bapak!!” kembali Gisavo berteriak memanggilku. Aku pun berjalan mendekati jendela kelas. Keberadaanku di dekat jendela ternyata mengganggu konsentrasi anakku. Ia terus menerus melihat jendela memastikan apakah aku ada di sana atau sudah pergi. “Wah, kalau begini terus, repot juga,” pikirku. Perlahan aku meninggalkan jendela dan hanya mengintip aktivitas anakku. Dia mulai terlihat panik saat mengetahui aku sudah tidak ada di dekat jendela. Beberapa kali ia terlihat menghampiri guru. “Bu guru, bapaknya ke mana?” tanya Gisavo sambil menangis. Selain Gisavo, ternyata ada lagi satu anak perempuan yang terus menangis di kelas. Bahkan, ia kerap terlihat mengamuk memanggil ibunya. “Gisavo masih bisa diatur,” ujarku sambil terus mengintip kepanikannya di kelas.
Aku tak lagi berdiri di jendela dan betul-betul meninggalkan Gisavo bersama gurunya di dalam kelas. Dari kejauhan terdengar suara guru memanggil nama anakku. “Pasti dia rewel lagi. Tapi aku harus membiarkannya,” gumamku dalam hati. Sebatang rokok kunyalakan dan dihisap dalam-dalam. Lama aku tidak memperhatikan Gisavo di kelas, tidak terdengar lagi teriakan guru memanggil namanya. Aku penasaran dan kembali mengintip suasana kelas dari jendela. Ternyata Gisavo memang duduk rapi bersama teman-temannya. Tapi, dia malah melamun. Telapak tangan kanannya tampak menopang dagu sementara kedua bola matanya terlihat sayu. Di saat teman-temannya asyik mendengarkan cerita guru, pikiran anakku entah ada di mana. “Ya ampun Gisavo, apa yang kamu pikirkan? Belum saatnya kamu terlalu banyak berpikir. Biar bapak aja yang banyak pikiran,” ujarku dalam hati saat melihat tingkah Gisavo yang mirip denganku.
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.55 WIB. Sebentar lagi kelas bubar. Istriku kemudian datang dan menanyakan keberadaan Gisavo. Aku bilang, Gisavo ditinggal sendiri di kelas. Sebelum pulang, Ibu guru memberikan dua lembar surat kepada masing-masing anak. Gisavo sempat terlihat panik karena sampai akhir pelajaran, aku tak muncul lagi di jendela. Namun, ia segera tenang setelah melihat aku dan istri berada di dekat pintu. “Tuh, bapaknya ada kan?” ujar Ibu Tri yang kerjaannya lebih banyak mengantar anak-anak ke kamar mandi ketimbang berada di kelas. Gisavo tersenyum. Setelah mencium tangan guru, ia mendekatiku. “Bapak, tadi Gisa nangis di kelas. Abis, bapaknya gak ada di jendela,” ujar Gisavo. Aku hanya tersenyum. “Pak, Gisa main ayunan dulu ya,” kata anakku sambil berlari ke arah ayunan. Aku pun mengiyakannya. Saat Gisavo bermain ayunan, aku mendekati Ibu Tri. “Gimana anak saya?” tanyaku. “Gisavo bagus. Dia masih nurut sama guru. Kalau nangis, itu karena panik, tapi lama-lama juga terbiasa. Makanya, kalau mau, jangan ditungguin,” jawab Ibu Tri.
Ah, ternyata sikap anakku di kelas masih wajar. Ibu Tri bahkan bilang, sebelumnya ada anak yang selama satu tahun tidak mau ditinggal orangtuanya. “Gisavo masih mending. Rewelnya gak lama. Cuma pas terakhir-terakhir dia panik lagi karena takut gak dijemput,” terang Ibu Tri. Hmmm, sekolah berikutnya, Gisavo sudah harus ditinggal. Aku yakin, dia anak berani dan bisa menjalani hari-harinya di kelas dengan nyaman. “Ayo Gisavo, pulang,” ajakku. Gisavo menolak ajakanku dan meminta waktu bermain bola bersama teman-temannya. “Boleh main bola dulu ya pak? Sebentaaaar aja,” pintanya. Aku mengangguk tanda setuju. Gisavo berlari menghampiri teman-temannya. Kemana pun bola pergi, ia terus mengejar. Meski keringat sudah mengucur di dahinya, Gisavo tak pernah berhenti berlari. “Waaaaah, jangan-jangan, dia ingin jadi pemain bola,” tiba-tiba aku membayangkan masa depannya. Jangan Gi, mendingan jadi penyanyi aja kayak Afgan. “Ayo, tendang bolanya Gi!!!” teriakku memberi semangat. Gisavo melihat ke arahku lantas menendang bola kuat-kuat. "Goooooolllll" teriak anakku sambil kembali berlari. Ayo, berlarilah anakku, buat dirimu bahagia!!!
0 komentar:
Posting Komentar