Andri duduk sendiri di sebuah kafe. Sudut matanya melirik jam tangan pada lengan kiri. Waktu menunjukkan pukul lima lewat. Masih dua jam lagi menuju pertemuan. Sebatang rokok di tangan sudah habis terbakar. Dimatikan rokok itu, lalu ia ambil yang baru.
"Sudah rokok kesembilan," ucapnya dalam hati. Secangkir kopi hitam panas tersudut di siku-siku dinding, menunggu diminum. Andri memang menyenangi kopi panas. Bahkan saat terik matahari menyengat, dia bergeming, tetap keukeuh mencari kopi panas.
“Kopi itu ya panas, kalau dingin bukan kopi,” begitu alasan Andri saat teman-temannya bertanya tentang hobinya menyeruput kopi panas.
Sore itu, kafe tak terlalu riuh. Jalanan di depannya juga terlihat sepi. Ah, biarlah, masa bodoh dengan kondisi ini. Andri kembali menatap jam tangan. Sudah jam lima, cepat sekali waktu berlalu.
Di luar, tiba-tiba keriuhan tersaji. Belasan anak SMA melintas. Semuanya laki-laki. Samar ia melihat sesuatu tersembul di balik pakaian mereka. Lalu dari arah berlawanan, terlihat segerombolan anak SMA lainnya.
Dua gerombolan itu saling pandang. Andri mencium gelagat tak beres. Hanya sekejap ia mendengar teriakan-teriakan tak berarti. Satu terkapar bersimbah darah. Benda tersembul tadi telah bicara pada lambungnya. Polisi datang bersama ambulans. Korban terkapar dibawa ke rumah sakit. Yang lain berlarian menyelamatkan diri.
Refleks, Andri pun meraba pinggangnya. Ada goresan memanjang sampai dada. Ia meringis. Melihat anak itu terkapar bagai melihat dirinya tiga tahun lalu saat ditusuk geng motor musuh bebuyutannya.
Kala itu, Andri ambruk di jalanan dengan luka tusuk memanjang. Santer bau amis, aspal panas, kerumunan, dan gelap gulita. Lalu kamar serbaputih dan tangisan ibunya. Semua terjadi begitu saja dan tak disadari. Beruntung, dia selamat.
Gerombolan putih abu sudah pergi. Sebagian dibawa ke kantor polisi, sisanya entah ke mana. Mungkin pulang ke rumah masing-masing. Kopi hitam di sudut yang sedari tadi tak disentuh mulai diseruputnya. Bukan panas, tapi hemat. Soalnya, ia sedang menunggu seseorang dan tak mau buru-buru pulang.
Keramaian baru pun terbentuk lagi.
Sejenak Andri ingat hari-hari silamnya. Dijuluki si biang ribut, ia kerap berpindah-pindah sekolah. Tak naik satu kali, pindah swasta, dipecat, pindah lagi, begitu seterusnya. Ayahnya pusing, bukan berarti ibu tidak.
Andri jarang melihat ibunya.
Ayah dan Ibu tak tinggal serumah karena bercerai. Andri pun mencoba tak menyalahkan siapa-siapa, sampai datang seorang teman menawarkan sebungkus pil warna-warni. Obat-obatan terlarang itu pun jadi candu buat Andri.
Selepas Magrib, malam merangkak perlahan. Lima menit berlalu tatapannya terarah pada seorang gadis berkaos putih plus rompi hitam. Dua kakinya dibalut jeans belel. Rambut gadis itu tergerai sebahu. Andri berkedip. Dia ingat sosok Anes.
"Ndri, kalau kamu mabuk, jangan ke sini, Anes takut!!
Sepanjang berpacaran dengan Anes, Andri memang kerap mabuk-mabukan. Kondisi keluarga yang berantakan, membuat jiwanya sedikit terganggu.
Ditegur seperti itu, Andri hanya bisa mengangguk pelan. Dia tak melawan. Di mata Andri, Anes begitu pengertian, walau egonya terlalu besar. Lama-lama Anes pergi, Andri kembali sendiri.
"Permisi....," seorang gadis mengenakan rok mini meminggirkan kursinya beberapa sentimeter, memberi ruang. Si gadis duduk, roknya terangkat sedikit.
"Milk shake satu," teriaknya sambil mengeluarkan sebungkus rokok putih. Sejenak melirik Andri.
"Hmmm, punya korek?" Tiingg, Andri mengeluarkan zippo.
"Makasih. Sendiri aja? Lagi nunggu orang ya?" tanya si rok mini.
Front telah dibuka. Andri menatap lekat si rok mini. Mengangguk, mengisap rokok lagi, menyeruput kopi, dan kembali sibuk dengan lamunannya. Si rok mini salah tingkah.
"Pesan apalagi mbak?" pelayan mengangsurkan pesanan.
"Udah, ini aja," hening sejenak.
"Kamu pendiam, atau bisu?!" tanya gadis rok mini menatap Andri.
Kali ini Andri melihat ke bawah. Yang dilihat tenang-tenang saja, tak berusaha menutupi. Tersenyum nakal.
"Enggak juga,” jawab Andri.
"Syukur kalau gitu. Saya Mimi... Kamu?"
Andri tersenyum.
Tiba-tiba dia ingat Shinta yang kini tinggal di rumah sakit jiwa. Sejak kejadian dulu, Shinta merasa dikucilkan, kotor, dan sibuk mendengarkan program-program pemerintah tentang kesehatan bayi.
Sementara si calon Ayah mungkin sedang asyik dugem di diskotik-diskotik, mencari Shinta-Shinta yang lain. Andri geram. Namun bagaimana pun, Shinta juga adiknya, sekotor apa pun dia. Kembali Andri tak bisa menyalahkan siapa-siapa.
"Heh, ditanya kok bengong. Pake senyum-senyum sendiri lagi!" si rok mini membuyarkan lamunan.
"Hmm, Andri," jawab Andri. Sorot matanya tak fokus, seperti ada yang dipkirkan. Dia kembali terdiam.
Si rok mini kemudian seperti memikirkan kata-kata selanjutnya. Andri termenung lagi. Kali ketiga, dia melirik jam tangan. Wah, sudah pukul 7 lebih lima belas, ke mana dia? Andri mengedarkan pandangannya, mencari seseorang.
"Hmmm Andri," si rok mini angkat bicara.
"Maaf kalo Mimi ngeganggu acara nunggunya Andri. Tapi Mimi lagi butuh temen ngobrol nih," dia berhenti sejenak, menunggu reaksi Andri.
"Iya?" sahut Andri.
"Ya gitu deh. Andri mau kan nemenin Mimi ngobrol?" suara si rok mini terdengar maksa dan begitu akrab.
"Lagian ngapain bengong, mending ngobrol sambil nunggu temen Andri, oke!!"
Teman? Begitu asing kata itu di telinga Andri. Kapan terakhir dia punya teman? Kemarin? Seminggu lalu? Sebulan? Setahun? Ah lebih lama.
Yah, pada waktu pertandingan basket antar-SMA dulu, timnya sudah unggul 10 angka. Tiba-tiba terjadi ketidaksengajaan berbuntut keributan. Vonis jatuh pada Andri. Yang pasti timnya didiskualifikasi. Sejak itulah, Andri merasa tak pernah lagi punya teman, karena selalu disudutkan.
"Tuh kan bengong lagi??"
"Hehehehe, sorry...."
Sebetulnya tak ada sedikit pun keinginan Andri buat berbincang-bincang saat itu. Suasana hatinya tak menentu. Ia sedang menunggu seseorang untuk menuntaskan masalah tempo hari. Andri belum membayar uang pembelian obat-obatan terlarang. Padahal, dia menganut paham, "Ada uang, ada barang". Hanya saja, tempo hari "ada uangnya" sedikit terlambat. Yang jual tak senang, hingga hari ini ia berniat menyelesaikannya.
"Andri belum punya pacar ya? Kok nongkrongnya sendirian? Kalau Mimi baru kemarin putus. Gara-gara dia punya cewek baru. Sebel!!" akhirnya Mimi berani bercerita.
Andri terdiam. Matanya gelisah.
"Emang setiap cowok apa gitu ya? Kalau Andri gimana? Ndri? Andri? Kamu ngeliatin apa sih?!!!” teriak Mimi.
Tanpa bicara lagi Andri berdiri. Yang ditunggunya sudah datang. Dua matanya berkilat. Perasaannya mengatakan sesuatu tak wajar begitu melihat gerombolan teman-temannya. Ah, mengapa begitu ramai?
Satu.. dua... tiga...tujuh orang! Sejenak, ia meraba pinggangnya. Ada perasaan sejuk. All Star hitam diseretnya mendekati gerombolan tadi. Teriakan si rok mini tak dihiraukan.
"Nah, ini dia. Ke mana aja lo? Gue nyari ke mana-mana, eh malah di sini enak-enak ngopi. Bareng cewek lagi. Sial lo!!!"
Permulaan yang buruk.
"Sorry Din, gue dah nungguin lo dari tadi. Kan kita janjian," jawab Andri mencoba meluruskan tuduhan Adin.
"Buruan, gue lagi butuh duit nih!!!!" bentak Adin. Mereka begitu dekat, tercium bau minuman keras.
"Gini aja Din, gue kagak bisa bayar sekarang semua. Gimana kalau setengahnya dulu? Sisanya ntar gue lunasin......"
"Apaan lo.... Belum bisa bayar sekarang juga???" main potong saja si Adin.
Sementara Adin ngotot, teman-temannya satu per satu mengelilingi Andri. "Ah kacau," pikir Andri. Mereka kelihatan tidak wajar. Matanya merah.
"Gimana nih Din," kaus red hot nimbrung.
"Ah payah!!!!" si anting sebelah tak mau kalah.
Adin satu-satunya yang Andri kenal di antara mereka, mencekal lengannya dengan keras.
"Kalau lo kagak bisa bayar sekarang, gue enggak bisa nanggung tindakan temen-temen gue!!!!" ancam Adin.
Andri tersinggung. Cepat ia melepaskan cekalan. Suasana memanas. Mereka jadi perhatian orang sekitar.
"Emang lo mau ngapain???? Kalo ada duit, ngapain gue tunda-tunda???? Gue janji minggu depan gue bayar!!!!!" teriak Andri sewot.
"Ah, banyak omong lo!!!!" si keriting maju dan mendorong Andri, pelan.
"Heh!!!! Apa-apaan lo???? Main dorong segala!!!!" naluri tawuran Andri pecah. Dorongan tadi ia anggap sebuah pertanda. Andri mendorong lebih kuat lagi.
Entah siapa yang memulai, sebuah pukulan mendarat mulus di pipinya. Seharusnya Andri sadar dan mengalah. Tapi keadaan menjepitnya dan ia terbiasa menghadapi hal ini dengan caranya sendiri.
Si kaus red hot jadi sasaran pertama. Dibalas, pukul lagi. Beberapa pukulan membuatnya pusing.
Walau mabuk, Adin cs tetap tujuh orang, dan Andri sendirian. Tapi dia tak mau tahu itu. Bergerak terus, lupa keadaan sekitar, lupa posisi, lupa tujuan, lupa bekas luka di pinggangnya. Semua terjadi begitu cepat sampai sebuah benda di tangan si keriting membuatnya berhenti, terpaku.
Adin cs pergi. Andri duduk, menunduk, menoleh ke perutnya. Ah, ada bercak merah.
"Ya Tuhan, terjadi lagi," batin Andri.
Kerumunan itu, bau amis, rasa panas, semua terjadi lagi. Bedanya, tak ada lagi tangis ibunya. Sekarang yang terlihat bukan putih. Tapi hitam dan gelap.***
0 komentar:
Posting Komentar