TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

KOMENTAR TERBARU

19 Desember 2024

Danar, Senja, dan Sepotong Kenangan


Setiap melintasi Jalan Rancabolang di kawasan Timur Kota Bandung, ingatan Danar terbang ke masa silam. Sepuluh tahun lalu, ketika usianya baru sembilan tahun, dia kerap menemani Ayah menanti senja di pinggir jalan. 

Saat itu, hampir setiap pekan Danar duduk di tepi sawah menatap kaki langit yang perlahan berubah warna. Di sampingnya, Ayah berdiri mengisap rokok. Asap yang keluar dari mulutnya terkadang menyerupai huruf O. 

Biasanya, Ayah mengajak Danar pergi melihat senja saat mereka mampir ke rumah kakek di Kompleks Margahayu Raya. Jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari sawah tempat mereka duduk. Di sana, senja terpancar nyaris sempurna. 

Sore itu, sehabis Asar, serpihan masa lalu kembali terlintas dalam pikiran Danar saat melewati jalan alternatif yang menghubungkan Soekarno-Hatta dengan Ciwastra itu. Dia pun mulai menyusuri puzzle kenangan satu per satu. 

“Sepertinya enak, mengenang masa lalu sambil ngopi,” gumam Danar dalam hati. Dia pun menghentikan motor sport-nya tepat di depan warung dan memesan kopi. Tak lupa, sebatang rokok melengkapi rencananya menelusuri masa satu dekade lalu, kala dia masih berseragam putih merah. 

Danar ingat, Ayah selalu bekerja ditemani kopi dan rokok putih. Bagi Ayah, kopi hitam dan sebatang rokok tampaknya jadi kolaborasi apik menuangkan ide atau gagasan saat menulis sebuah cerita. 

Duduk bersandar pada kursi panjang, Danar mengambil ponsel android dari saku kiri dan membuka akun facebook miliknya. Sejurus kemudian, dia menekan fitur foto. Sejumlah foto Danar kecil berlatar belakang senja hasil jepretan Ayahnya muncul di layar ponsel. 

Pemuda itu tersenyum. Memorinya tertuju pada momen saat kali pertama dia bertanya alasan kenapa Ayah mengajaknya ke pinggir sawah di Jalan Rancabolang. Pertanyaan khas seorang anak yang meminta penjelasan. 
"Ayah, kenapa sih kita sering ke sini?" tanya Danar waktu itu, memecah konsentrasi Ayahnya yang sedang asyik memandangi kaki langit. Tangan kanannya menggenggam batu, lalu dia lempar jauh-jauh ke depan. 

Memang, tiga kali menemani Ayah duduk di pinggir sawah, Danar tak pernah merasa nyaman. Ayah jarang mengajaknya bicara. Dari jam lima sore lebih hingga menjelang Azan Magrib, dia sibuk dengan dirinya sendiri, duduk, berdiri, kemudian sesekali memotret langit. 

Ketika langit mulai memancarkan warna jingga, Ayah meminta Danar berdiri. Berbekal kamera ponsel, dia memotret putra satu-satunya itu dengan latar belakang senja. Perpaduan warna merah, oranye, kuning dan keemasan membuat wajah Ayah tampak semringah saat itu. 

"Kamu pengin tahu alasannya?" tanya Ayah. "Iya Ayah," jawab Danar. Untuk kali kesekian bocah yang baru duduk di bangku kelas 4 SD itu melemparkan batu ke depan. Kali ini, lemparannya cukup jauh. Batu pun jatuh ke genangan sawah hingga menimbulkan percikan air. 

"Jadi kenapa?” Danar mulai menelisik. 
"Ya jelas, karena ini adalah lokasi yang bagus buat melihat matahari terbenam atau senja," jawab Ayah. "Terus, kenapa harus senja?" tanya Danar lagi, sambil terus melempar batu sejauh-jauhnya. 
"Hmmm," sang Ayah mulai berpikir, mencari jawaban yang tepat untuk menerangkan kepada anak usia sembilan tahun. 
"Karena senja adalah waktu yang tepat buat merenung," ujar Ayah. 
"Merenung?" tanya Danar bingung. 
"Begini Nak," Ayah kembali membuka suara. 
"Kadang kita merasa penat dengan rutinitas sehari-hari dan butuh tempat yang nyaman buat diam. Nah, sore menjelang senjalah waktu yang pas buat Ayah untuk meredakan otak yang dari pagi berpikir," terang Ayah. 
"Sederhananya, menjelang senja itu kan matahari enggak terlalu panas, langit juga lama-lama gelap. Kan enak buat ngadem sambil melihat perubahan warna langit,” kata Ayah. 
"Ngadem?" Danar lagi-lagi bertanya. 
"Ngadem itu istirahat, mendinginkan badan," jawab Ayah. 
"Hoooo, jadi Ayah tuh ke sini buat ngadem, cari yang dingin-dingin?"tanya Danar. 
"Iya, begitulah. Kan enggak mungkin Ayah ngadem tengah hari. Yang ada pikiran bukannya tenang, malah tambah pusing. Hahaha,” jawab Ayah. 
"Bisa Yah, ngadem aja di kulkas,” canda Danar. Ayah tertawa. Dia takjub. Danar kecil sudah bisa bercanda. 
"Oh iya, Danar tahu kenapa Ayah enggak ngadem pagi-pagi,” ujar Danar. “Kenapa?” tanya Ayah. “Karena Ayah enggak bisa bangun pagi, ya kan?” tebak Danar sambil tertawa. 
"Betul sekali Danar. Hahahaha," jawab Ayah. Mereka berdua tertawa. Ayah mengusap kepala Danar. "Kamu masih mau nemenin Ayah di sini?" tanya Ayah. “Kalau masih, ada satu jawaban lagi yang harus kamu tahu kenapa Ayah sering ke sini,” kata Ayah. 
Danar mengangguk. Kali ini, dia memainkan rumput di tepi sawah. Sesekali mencari belalang, kemudian diam lagi menunggu Ayahnya bicara. "Danar, kamu lihat alat itu?" Ayah kembali bicara. Telunjuk kanannya mengarah pada satu alat berat dengan empat roda besar, namun berbeda ukuran. Roda depan lebih kecil dari belakang. Pada bagian depan, terpasang alat mirip belalai, yang menjulur siap mengeruk tanah. 
"Itu namanya Bechoe,"Ayah menerangkan. 
"Bechoe?" Danar mengernyitkan dahi. 
"Ya, alat itu namanya bechoe. Biasanya digunakan untuk menggali dan meratakan tanah kalau ada pembangunan gedung, atau rumah," jawab Ayahnya. 
"Terus, kenapa alat itu ada di sana?" tanya Danar lagi. 
"Itu artinya, di tempat ini akan ada pembangunan gedung atau perumahan," jawab Ayah lagi. 
"Ayah sering datang ke sini, karena Ayah tahu, sebentar lagi pemandangan seperti ini tak akan lagi bisa dilihat. Hamparan sawah ini bakal habis ditumbuhi rumah-rumah mewah," ujar Ayah. 

Spontan Danar mulai memperhatikan sekitar. Di kiri-kanan jalan memang banyak sawah yang sudah beralih fungsi jadi tanah lapang. Yang tersisa tinggal sedikit. Salah satunya tempat dia dan Ayah duduk. "Kapan lagi bisa melihat senja di sini. Percaya deh, satu atau dua tahun lagi sawah-sawah di sini juga tidak akan ada lagi," kata Ayah. 

Danar terdiam. Entah mengerti atau tidak apa yang dijelaskan Ayahnya, yang pasti, sore itu langit mulai memancarkan keindahannya, memunculkan warna jingga kemerah-merahan. 
"Ayah lihat! Itu senja!" Danar menunjuk kaki langit. 
"Ya, bagus kan?" timpal Ayah. 
"Iyaa, tuh ada burung lewat,” kata Danar lagi. Dua bola matanya menatap ke arah Barat. Siluet burung menghiasi langit, melintasi cakrawala keemasan. Dua lelaki beda generasi itu larut dalam diam. Danar sepertinya mulai menikmati momen pergantian waktu dari siang ke malam itu. Ayah mengambil ponsel. Dia kemudian asyik memotret kaki langit. 
"Bagus enggak foto Ayah?"tanya Ayah, memperlihatkan hasil jepretan kameranya. 
"Bagus. Danar pinjam Yah, mau nyoba-nyoba ngambil foto senja," kata Danar. Dia lantas mengarahkan kamera pada satu titik. Satu, dua, sampai tiga jepretan foto dia hasilkan. 
"Bagus kan? Hasil foto Danar enggak kalah dari Ayah kan," ucap Danar mulai menyombongkan diri. “Iyaa, keren lah,” Ayah membesarkan hati Danar sambil tersenyum melihat hasil foto Danar yang tampak gelap. Hari semakin sore. 

Bayu senja mulai membelah langit. Dinginnya cukup menusuk pori-pori. Sebentar lagi Azan Magrib berkumandang. 
"Yuk, kita pulang. Sebentar lagi Azan," ajak Ayah kepada Danar. Perlahan warna langit menghitam. Jingga yang tadi mendominasi kaki langit, perlahan memudar. Danar duduk di jok belakang motor, memeluk pinggang Ayahnya erat-erat. Mereka meninggalkan senja, kembali ke rumah, bersiap menanti fajar. 

"Dek, ngapain senyum-senyum sendiri? Sebentar lagi Magrib," tiba-tiba suara berat pria tua penjaga warung menghentikan perjalanan Danar merangkai puzzle kenangan masa lalu bersama Ayahnya. 
"Oh iya Pak, saya juga mau pulang," jawab Danar sambil mengeluarkan uang lima ribuan, lalu bergegas pergi meninggalkan warung. Dia pun pergi meninggalkan warung, menaiki motor sport, lalu menarik gas tipis-tipis. 

Sepanjang mengemudikan motor, matanya awas memperhatikan sekitar. Nyaris tak ada lagi lahan kosong di Rancabolang. Semua berganti perumahan. Sawah yang dulu jadi tempat Ayah menikmati senja juga sudah berubah jadi bangunan megah. 

"Drrrt, drrrt, drrrt," suara getaran ponsel di saku kiri berbunyi. Danar menghentikan motor dan merogoh ponselnya dari saku. Nama Ayah muncul di layar ponsel. 

"Halo Yah," kata Danar bergegas menjawab telepon, tak mau membuat Ayahnya menunggu lama. 
"Woi, kamu di mana? Lama bener! Mana rokok sama kopi yang Ayah pesan?" suara bass Ayah terdengar dari seberang ponsel. 
"Oh iya Yah, sebentar lagi Danar pulang," jawab Danar. Dia nyaris lupa pesanan Ayahnya. 
"Iya, cepetan, Ayah lagi ngetik nih, enggak bisa mikir tanpa rokok dan kopi,” timpal Ayah. 
"Okeee," jawab Danar singkat. Ayah menutup telepon. Danar memacu motornya, berbalik arah mencari minimarket. 

Langit mulai gelap. Angin kemarau bertiup kencang. Debu-debu jalanan beterbangan. Di ufuk Barat, Danar melihat senja yang tak sempurna, tenggelam di antara bangunan.***

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar

Kabar Terpilih

Daluang Jangan Sekadar Jadi Cerita

Siang itu, Ahmad Mufid Sururi duduk bersila membelakangi jendela. Selembar daluang yang nyaris sempurna, terhampar di depannya. Sejurus kemu...

YouTube

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra