Gerimis itu tiba-tiba turun dari celah langit. Tipis, nyaris seperti embun. Saya melihatnya dari balik jendela. Tempiasnya membasahi kaca luar jendela, lalu mengucur perlahan seperti membentuk sebuah kaligrafi. Angin berembus pelan, membuat beberapa pucuk pohon melambai ke kiri dan kanan. Satu dua daun jatuh menyentuh tanah. Dingin menusuk pori-pori.
Pagi itu langit memang sedikit gelap namun tidak menakutkan. Nyaris setahun lebih kota ini diguyur hujan. Mungkin memang ini masanya jemari langit menyentuh bumi. Kadang bermain-main dengan lembut, meski sering pula berubah brutal. Kali ini ujung hujan memang tak setajam sebelumnya. Bagai pensil tumpul, ia hanya menuliskan pesan singkat, bukan janji mendatangkan pelangi.
Saya teringat seseorang beberapa tahun lalu. Kami bertemu dalam aroma gerimis yang menerjemahkan tanah-tanah. Menyusuri jalanan basah, kami tertimpa gerimis, membeku dalam dingin. Sepanjang jalan tak bosan kami bertukar kata. Sesekali terdiam mencoba mengurai makna gerimis yang menderai di antara sepi. Sejenak basah dalam percakapan di antara mendung yang semakin menyusut mengikuti sisa gerimis. Sungguh, gerimis mendedas yang menghasut kenangan.
Saya seolah menangkap sebuah nyanyian rindu ketika hujan gerimis itu perlahan turun. Meresonansi masa lalu, membuat saya terhipnotis pada keadaan. Berharap menemukan wajahnya di antara ribuan garis gerimis miris yang berjatuhan menabuh bumi, meresap ke dalam hati. Atau menangkap matanya yang kerap melukiskan pemandangan indah. Ah, gerimis memang menyimpan sebuah rahasia yang tak pernah bisa dibongkar. Ia seperti bercerita soal kerinduan, ketabahan, dan kelembutan.
Rindu pada gerimis ini memang tak pernah berhenti meski menggigil dalam dingin usia. Terus melaju di antara putaran malam dan siang yang terasa sangat singkat. Pada gerimis ini, saya selipkan beberapa bait pesan yang dikirim lewat aliran sungai kata-kata, tentang masa depan rumit dan meresahkan
0 komentar:
Posting Komentar