TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

KOMENTAR TERBARU

08 Oktober 2025

Senja Terakhir di Rancabolang


Setiap kali melintasi Jalan Rancabolang di timur Kota Bandung, hati Danar selalu bergetar. Ingatannya kembali ke sepuluh tahun silam, ketika ia masih bocah sembilan tahun yang kerap menemani Ayah menanti senja di tepi sawah. 

Di sanalah mereka duduk, di pematang sederhana, menatap kaki langit yang perlahan berubah warna. Ayahnya, dengan rokok terselip di tangan, mengembuskan asap yang kadang membentuk lingkaran. Senja seolah menyatukan diam mereka—diam yang penuh makna, meski bagi Danar kecil kala itu terasa asing. 

Ayah sering bilang, “Senja itu waktu yang tepat untuk merenung.” Danar tak pernah paham apa itu merenung. Yang ia tahu, sore menjelang malam adalah saat ia melempar batu ke genangan sawah, sambil sesekali bertanya hal-hal yang tak pernah tuntas dijawab Ayahnya. 

Namun, ada satu jawaban Ayah yang selalu membekas: “Sebentar lagi, sawah ini akan hilang, Nak. Berganti rumah-rumah mewah. Karena itu, Ayah ingin menyimpan senja terakhir di tempat ini.” 

Danar masih ingat jelas sore itu. Angin membawa aroma lumpur sawah, suara jangkrik mulai terdengar, dan seekor burung melintas di langit jingga. Ia tidak mengerti sepenuhnya ucapan Ayah, tapi hatinya seakan ikut tercekat. 

Kini, bertahun-tahun kemudian, kata-kata itu menjelma nyata. Sawah-sawah telah lenyap, ditelan proyek perumahan. Tiada lagi tanah becek tempat ia berlari, tiada lagi rumpun padi yang membisikkan rahasia senja. Yang tersisa hanya jalan bergelombang, debu beterbangan, dan dinding-dinding beton yang kaku. 

Danar menepi di sebuah warung kecil, menyeruput kopi hitam sambil menyalakan rokok. Asapnya berkelindan dengan kenangan. Di layar ponselnya, foto-foto masa kecil bersama Ayah muncul. Senyum Danar terbit samar, lalu perlahan memudar ketika satu bayangan lain menyelinap dalam ingatannya: Bayu, sahabat masa kecilnya. 

Bayu adalah anak petani yang rumahnya berdiri tepat di tepi sawah Rancabolang. Hampir setiap sore, mereka berlari bersama, mengejar capung, atau bersembunyi di balik rumpun padi. Bayu selalu tahu tempat terbaik untuk mencari belalang, dan Danar selalu tahu cara membuat layangan dari kertas bekas buku. 

Namun segalanya berubah ketika buldoser datang. Rumah Bayu digusur, sawah ayahnya dijual murah. Hari itu, Danar masih ingat jelas suara tangis ibu Bayu yang memeluk pintu rumah, sebelum akhirnya harus pergi entah ke mana. Sejak saat itu, Danar tak pernah lagi bertemu sahabat kecilnya. 

Kini, setiap kali melewati jalan itu, rasa bersalah menusuk dadanya. Ke mana Bayu sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia pernah kembali melihat tanah yang dulu menjadi dunianya? 

Motor sport yang ia tunggangi melaju perlahan. Kiri dan kanan jalan dipenuhi deretan rumah seragam, dingin, tanpa jiwa. Sesekali, Danar merasa senja yang dulu dicintai Ayahnya seolah ikut terkubur di bawah fondasi perumahan ini. 

Ingatan menohok kembali: “Biarlah orang-orang menjual tanah mereka. Tapi aku tidak akan menjual tanah warisan ini. Di sini kita lahir, di sini pula kita akan mati,” suara parau Ayah Bayu masih terngiang. Tegas, tapi penuh cinta pada tanah leluhur. 

Namun kenyataan lebih kejam dari janji. Traktor, surat tanah, dan tekanan bertubi-tubi membuat keluarga Bayu akhirnya terusir. Sawah itu rata dengan tanah, ditukar dengan lembar-lembar rupiah yang hanya cukup bertahan sebentar. 

Danar menghentikan motornya di depan sebuah minimarket. Dari balik helm, matanya menangkap sosok pria berkaus lusuh dengan rompi oranye, mengatur kendaraan di parkiran. Ada gurat wajah yang membuat dadanya bergetar. 

Helm ia buka perlahan. 
“Bayu…?” 

Pria itu menoleh, terpaku. Mata mereka bertemu. Ada jeda panjang, sebelum bibirnya bergetar, “Danar? Kau masih ingat aku?” 

Di bangku warung dekat situ, kopi hitam mengepul di antara mereka. Bayu bercerita singkat: setelah penggusuran, ibunya jatuh sakit, ayahnya meninggal setahun kemudian, ia putus sekolah, lalu bekerja serabutan hingga kini menjadi juru parkir. 

“Kadang aku masih mimpi, Dan,” suara Bayu pecah. “Mimpi ayahku berdiri di pematang, menolak menjual tanah. Aku dengar dia berteriak: ‘Senja ini jangan kalian ambil!’ Tapi lihat sekarang… semua habis. Senja ikut dikubur.” 

Danar menunduk, jemarinya gemetar memegang cangkir. Ada sesak yang tak bisa ia tahan. Perlahan, air matanya jatuh. 

Langit sore itu mendung, tapi sekelebat cahaya jingga menyelinap di balik celah bangunan. Senja yang tipis, rapuh, tapi nyata. Bayu menoleh, tersenyum getir. 

“Mungkin ini sisa terakhirnya, Dan. Senja yang keras kepala, masih berusaha hidup di antara beton.” 

Danar menatap sahabat lamanya, lalu berbisik, “Selama kau masih ada di sini, senja itu tidak akan pernah mati.” 

Keduanya terdiam, membiarkan senja merangkul mereka—sebuah senja yang tidak sempurna, tapi cukup untuk membuat dua hati yang lama hilang akhirnya pulang.
Read More..

22 September 2025

Reformasi Polri, Mencari Cermin Kepercayaan


Di Tanah Air penuh luka dan harapan, reformasi selalu menjadi kata yang indah, tetapi juga rapuh. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan tegas membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri, berisi 52 perwira tinggi dan menengah, sebuah barisan yang diharapkan menjadi penabuh genderang perubahan. 

Namun, sebagaimana wayang di panggung malam, penonton tak cukup puas hanya dengan melihat tokoh berbaris rapi. Mereka menanti lakon, mereka menanti babak demi babak yang sungguh menyentuh hati. Kita teringat pada kisah Prabu Kresna dalam Mahabharata. Di tengah perang Bharatayudha, Kresna bukan sekadar memberi arahan, melainkan menyalakan api keyakinan pada Arjuna untuk bertindak benar. 

Itulah esensi kepemimpinan: bukan sekadar memerintah, melainkan menyalakan nurani. Begitu pula Polri hari ini. Reformasi tak boleh berhenti pada deretan nama dan dokumen perintah. Ia harus menyentuh sendi-sendi batin para pengemban seragam. 

Sejarah kita pun pernah mencatat: di era Majapahit, Patih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk meyakinkan rakyat bahwa ia akan menunaikan janji menjaga tanah air. Janji itu menjadi nyala api yang tak padam. Begitu pula Polri, yang kini membawa visi Grand Strategy 2025–2045. Ia bukan sekadar rencana jangka panjang, melainkan sebuah janji: hadir untuk rakyat dengan wajah adil, bersih, dan humanis. 

Namun, mari jujur: jalan menuju reformasi Polri adalah jalan terjal. Masih ada cerita luka: kekerasan berlebihan, oknum yang menggadaikan integritas, keadilan yang tak selalu berpihak pada yang lemah. Di sinilah tantangan itu. Reformasi bukan sekadar memperbaiki sistem, melainkan merobek selimut lama yang menutup cahaya nurani. 

Tugas besar Polri bukan hanya menjaga keamanan, tetapi juga memelihara kepercayaan. Sebab tanpa kepercayaan rakyat, polisi hanyalah barisan baja tanpa ruh. Seperti tokoh wayang tanpa dalang, ia kehilangan arah. 

Kita berharap, Tim Reformasi Polri ini bukanlah sekadar “panggung bayangan” yang memoles citra. Semoga ia benar-benar menjadi jalan terang, tempat hukum berdiri dengan gagah, pelayanan hadir dengan ramah, dan keadilan menyapa tanpa pilih kasih. Reformasi sejati lahir ketika Polri mampu bercermin pada rakyatnya —melihat bukan sekadar bayangan, melainkan kepercayaan yang kembali.
Read More..

Mabuk Kata, Tumbang Martabat


Di ruang hening Gorontalo, sebuah video merebak bagai api yang menjilat alang-alang kering. Seorang anggota DPRD, Wahyudin Moridu, terekam dalam keadaan mabuk. Bibirnya, yang mestinya menjaga martabat rakyat, justru melontarkan kalimat yang menoreh luka: "Mari rampok uang negara ini, biar negeri ini semakin miskin." 

Kalimat itu, meski lahir dari bibir yang limbung, menoreh luka di dada rakyat. Bukan sekadar guyonan basi, bukan pula letupan tanpa arti. Ia adalah cermin buram, yang memantulkan wajah getir politik kita: bahwa candaan pejabat pun mampu menyingkap nurani yang rapuh. \

Kepercayaan publik ibarat kaca bening. Butuh waktu lama untuk membentuknya, tapi cukup satu retakan kecil untuk menghancurkannya. Ketika seorang wakil rakyat berkata seolah meremehkan negara, retakan itu menganga lebar. Rakyat yang telah lama menahan lapar, tak pantas mendengar wakilnya berseloroh tentang merampok uang negara. 

Alasan mabuk mungkin bisa mengaburkan ingatan, tapi tidak bisa menghapus jejak digital. Zaman ini, kamera lebih setia dari sahabat; ia merekam tanpa peduli konteks, dan dunia maya menyebarkannya tanpa ampun. Apa yang dulu hanya omongan di ruang sempit, kini menjadi tontonan nasional, menelanjangi seorang politisi di hadapan rakyatnya sendiri. 

PDIP akhirnya angkat palu: memecat sang kader. Langkah tegas itu adalah upaya menjaga martabat partai, sebuah pesan bahwa tak ada ruang bagi candaan yang mencederai nurani bangsa.Namun, publik tetap bertanya: Apakah ini akhir dari persoalan, atau hanya pengalihan agar badai segera reda? 

Video bisa dipadamkan, berita bisa tenggelam di arus informasi, tapi luka kepercayaan rakyat tak mudah terobati. Sekali terucap, kata menjelma batu nisan, terpacak dalam ingatan kolektif bangsa.

Kasus Wahyudin Moridu adalah peringatan keras: bahwa jabatan bukan sekadar kursi, tapi amanah yang melekat hingga ke ruang paling pribadi. Politikus boleh mabuk oleh minuman, tapi jangan mabuk oleh kuasa. Sebab, ketika kata-kata lahir tanpa tanggung jawab, ia bisa menumbangkan lebih dari sekadar karier seorang manusia, tapi juga keyakinan rakyat pada masa depan demokrasinya.
Read More..

Kabar Terpilih

Affan dan Harga Nyawa Rakyat Kecil

Affan Kurniawan berangkat kerja seperti biasa. Dengan motor dan jaket ojek online yang menjadi ciri khasnya, ia menembus jalanan ibu kota ...

YouTube

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra