Setiap kali melintasi Jalan Rancabolang di timur Kota Bandung, hati Danar selalu bergetar. Ingatannya kembali ke sepuluh tahun silam, ketika ia masih bocah sembilan tahun yang kerap menemani Ayah menanti senja di tepi sawah.
Di sanalah mereka duduk, di pematang sederhana, menatap kaki langit yang perlahan berubah warna. Ayahnya, dengan rokok terselip di tangan, mengembuskan asap yang kadang membentuk lingkaran. Senja seolah menyatukan diam mereka—diam yang penuh makna, meski bagi Danar kecil kala itu terasa asing.
Ayah sering bilang, “Senja itu waktu yang tepat untuk merenung.”
Danar tak pernah paham apa itu merenung. Yang ia tahu, sore menjelang malam adalah saat ia melempar batu ke genangan sawah, sambil sesekali bertanya hal-hal yang tak pernah tuntas dijawab Ayahnya.
Namun, ada satu jawaban Ayah yang selalu membekas:
“Sebentar lagi, sawah ini akan hilang, Nak. Berganti rumah-rumah mewah. Karena itu, Ayah ingin menyimpan senja terakhir di tempat ini.”
Danar masih ingat jelas sore itu. Angin membawa aroma lumpur sawah, suara jangkrik mulai terdengar, dan seekor burung melintas di langit jingga. Ia tidak mengerti sepenuhnya ucapan Ayah, tapi hatinya seakan ikut tercekat.
Kini, bertahun-tahun kemudian, kata-kata itu menjelma nyata. Sawah-sawah telah lenyap, ditelan proyek perumahan. Tiada lagi tanah becek tempat ia berlari, tiada lagi rumpun padi yang membisikkan rahasia senja. Yang tersisa hanya jalan bergelombang, debu beterbangan, dan dinding-dinding beton yang kaku.
Danar menepi di sebuah warung kecil, menyeruput kopi hitam sambil menyalakan rokok. Asapnya berkelindan dengan kenangan. Di layar ponselnya, foto-foto masa kecil bersama Ayah muncul. Senyum Danar terbit samar, lalu perlahan memudar ketika satu bayangan lain menyelinap dalam ingatannya: Bayu, sahabat masa kecilnya.
Bayu adalah anak petani yang rumahnya berdiri tepat di tepi sawah Rancabolang. Hampir setiap sore, mereka berlari bersama, mengejar capung, atau bersembunyi di balik rumpun padi. Bayu selalu tahu tempat terbaik untuk mencari belalang, dan Danar selalu tahu cara membuat layangan dari kertas bekas buku.
Namun segalanya berubah ketika buldoser datang. Rumah Bayu digusur, sawah ayahnya dijual murah. Hari itu, Danar masih ingat jelas suara tangis ibu Bayu yang memeluk pintu rumah, sebelum akhirnya harus pergi entah ke mana. Sejak saat itu, Danar tak pernah lagi bertemu sahabat kecilnya.
Kini, setiap kali melewati jalan itu, rasa bersalah menusuk dadanya. Ke mana Bayu sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia pernah kembali melihat tanah yang dulu menjadi dunianya?
Motor sport yang ia tunggangi melaju perlahan. Kiri dan kanan jalan dipenuhi deretan rumah seragam, dingin, tanpa jiwa. Sesekali, Danar merasa senja yang dulu dicintai Ayahnya seolah ikut terkubur di bawah fondasi perumahan ini.
Ingatan menohok kembali:
“Biarlah orang-orang menjual tanah mereka. Tapi aku tidak akan menjual tanah warisan ini. Di sini kita lahir, di sini pula kita akan mati,” suara parau Ayah Bayu masih terngiang. Tegas, tapi penuh cinta pada tanah leluhur.
Namun kenyataan lebih kejam dari janji. Traktor, surat tanah, dan tekanan bertubi-tubi membuat keluarga Bayu akhirnya terusir. Sawah itu rata dengan tanah, ditukar dengan lembar-lembar rupiah yang hanya cukup bertahan sebentar.
Danar menghentikan motornya di depan sebuah minimarket. Dari balik helm, matanya menangkap sosok pria berkaus lusuh dengan rompi oranye, mengatur kendaraan di parkiran. Ada gurat wajah yang membuat dadanya bergetar.
Helm ia buka perlahan.
“Bayu…?”
Pria itu menoleh, terpaku. Mata mereka bertemu. Ada jeda panjang, sebelum bibirnya bergetar, “Danar? Kau masih ingat aku?”
Di bangku warung dekat situ, kopi hitam mengepul di antara mereka. Bayu bercerita singkat: setelah penggusuran, ibunya jatuh sakit, ayahnya meninggal setahun kemudian, ia putus sekolah, lalu bekerja serabutan hingga kini menjadi juru parkir.
“Kadang aku masih mimpi, Dan,” suara Bayu pecah. “Mimpi ayahku berdiri di pematang, menolak menjual tanah. Aku dengar dia berteriak: ‘Senja ini jangan kalian ambil!’ Tapi lihat sekarang… semua habis. Senja ikut dikubur.”
Danar menunduk, jemarinya gemetar memegang cangkir. Ada sesak yang tak bisa ia tahan. Perlahan, air matanya jatuh.
Langit sore itu mendung, tapi sekelebat cahaya jingga menyelinap di balik celah bangunan. Senja yang tipis, rapuh, tapi nyata. Bayu menoleh, tersenyum getir.
“Mungkin ini sisa terakhirnya, Dan. Senja yang keras kepala, masih berusaha hidup di antara beton.”
Danar menatap sahabat lamanya, lalu berbisik, “Selama kau masih ada di sini, senja itu tidak akan pernah mati.”
Keduanya terdiam, membiarkan senja merangkul mereka—sebuah senja yang tidak sempurna, tapi cukup untuk membuat dua hati yang lama hilang akhirnya pulang.
Read More..



